RSS

MAKALAH
Abangan, Santri, dan Priyai
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : Dr.Samidi Khalim, M.S.I


Oleh :

Alifia Ainun Nida (1604016060)
M. Arfani Murdianto (1604016061)
Intania Dea Feblianita (1604016062)



FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017


PENDAHULUAN



A. Latar Belakang
   Ketika ditanya tentang keberagamaan mereka, sebagian besar masyarakat Jawa secara otomatis akan menjawab, mereka adalah penganut Agami Islam (agama Islam) (Koentjaraningrat. 1984:311). Memang, lebih dari 95 persen dari kurang lebih 55 juta orang Jawa adalah Muslim. Meskipun, menurut Ricklefs, masyarakat Jawa kadang-kadang dianggap ‘Muslim yang buruk’, namun dalam pandangan Ricklefs, pernyataan ini tidak akan membantu kita dalam memahami bagaimana perkembangan agama di Jawa, apa saja alasan keunikannya, atau dimana posisinya dalam sejarah Islam atau agama secara umum (Ricklefs, 1979:100).
   Sebagaimana yang dapat kita lihat bersama, geertz dalam Religion of Java, mendeskripsikan identitas Muslim Jawa dengan merumuskan trikonomi abangan, santri, dan priyayi (Geertz:1960).

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari abangan, santri dan priyayi?
2. Apa ciri-ciri tradisi keberagamaan dari abangan, santri dan priyayi?
3. Apa saja budaya dari abangan, santri dan priyayi?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian abangan, santri dan priyayi.
2. Memahami ciri-ciri tradisi keberagamaan abangan, santri dan priyayi.
3. Mengetahui budaya dari abangan, santri, dan priyayi.

PEMBAHASAN



1. Pengertian Abangan, Santri dan Priyayi
   Kehadiran Islam di tanah Jawa membuahkan di tanah Jawa membuahkan dua kelompok atas dasar keagamaannya, meskipun keduanya secara nominal termasuk agama Islam (Magniz Suseno, 1993:13). Golongan pertama dalam kesadaran dan cara hidupnya lebih ditentukan oleh tradisi-tradisi Jawa pra-Islam dan berusaha untuk hidup menurut ajaran Islam, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan santri. Sedangkan golongan kedua adalah abangan atau Jawa Kejawen yang diwakili oleh kaum priyayi tradisional, meskipun mereka secara resmi mengakui Islam sebagai agamanya.
• Pengertian Santri
   Kata santri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti orang yang mendalami agama Islam dan orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh (orang yang shaleh). Seorang santri harus mempunyai tiga unsur yang berperan dalam kehidupannya yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Sehingga semua ilmu tentang Iman, Islam, dan Ihsan dipelajari di pesantren menjadi seorang santri yang dapat beriman kepada Allah secara bersungguh-sungguh, berpegang teguh kepada aturan Islam, serta dapat berbuat ihsan terhadap sesama.
   Menurut Nurcholish Madjid, kata ‘santri’ dapat dilihat dari dua pendapat. Pertama, ‘santri’ berasal dari perkataan ‘sastri’, bahasa Sansekerta yang artinya melek huruf. Di sisi lain, Zamkhsyari Dhofier berpendapat bahwa kata “santri” dalam bahasa India secara umum dapat diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Kedua, yang mengatakan “santri” berasal dari bahasa Jawa, yaitu “cantrik”, berarti seseorang yang selalu mengikuti guru kemana guru itu pergi menetap.
• Pengertian Abangan
Abangan merupakan umat muslim nominal (muslim KTP) yang memandang Islam terutama sebagai sumber praktik ritual di tahapan tertentu dalam kehidupan. Seorang muslim abangan jarang atau tidak pernah bersembahyang, tidak bisa mengucapkan kalimat syahadat atau membaca Alqur’an, jarang atau tak pernah berpuasa. pada bulan Ramadhan, dan nyaris tidak pernah berpikir untuk mengalokasikan uangnya untuk pergi naik haji ke Mekah. Tetapi, pada waktu kelahiran dan kematian, kaum abangan akan berharap bahwa ritual Islam dijalankan. Dan, versi-versi tertentu dalam ritual Islam juga mungkin dilaksanakan pada peristiwa sunatan atau pernikahan.
• Pengertian Priyayi
   Priyayi merupakan keturunan aristokrat (kaum ningrat) dan pegawai sipil kontemporer. Priyayi ialah yang berpusat di kota dan memiliki keyakinan, tata ritual serta tradisi yang berbeda dan mereka kebanyakan di pengaruhi oleh tradisi Hindu/Budha. Mereka ini berbeda dengan dua kategori sebelumnya karena mereka adalah wong alusan.
   Istilah priyayi asal mulanya hanya diperuntukkan bagi kalangan aristokrasi turun-temurun oleh Belanda, yang dengan mudahnya dicomot oleh raja-raja pribumi yang ditaklukkan untuk kemudian diangkat sebagi pejabat sipil yang digaji. Elit pegawai ini, yang ujung akarnya terletak pada keraton Hindu-Jawa sebelum masa kolonial, memelihara dan mengembangkan etiket keraton yang sangat halus, kesenian yang sangat kompleks dalam tarian, musik dan sastra, dan kentalnya mistisisme Hindu-Budha.
   Kaum priyayi umumnya selalu berada di kota-kota, bahkan salah satu ciri Jawa modern yang secara sosiologis paling menarik adalah besarnya jumlah priyayi di kota-kota. Sebagian karena tidak stabilnya politik dalam kerajaan-kerajaan masa pra-kolonial; sebagian karena filsafat mereka yang melihat “ke dalam” yang lebih menghargai prestasi mistik daripada keterampilan politik; sebagian karena tantangan Belanda terhadap usaha mereka merangkul kaum tani, sehingga kaum priyayi itu tidak mampu menjadikan diri mereka priyayi tuan tanah.

2. Ciri-Ciri Abangan, Santri dan Priyayi    Menurut Geertz, tradisi agama abangan, yang dominan dalam masyarakat petani, terutama terdiri dari ritual-ritual yang dinamai slametan, kepercayaan yang kompleks dan rumit terhadap roh-roh, dan teori-teori serta praktik-praktik pengobatan, tenung dan sihir. Slametan, sebagai ritual terpenting masyarakat abangan, bertujuan menenangkan roh-roh dan untuk memperoleh keadaan slamet-yang ditandai dengan tidak adanya perasaan sakit hati pada orang lain serta keseimbangan emosional (Geertz, 1960:5-14). Karena orientasi abangan abangan lebih animistik ketimbang Islam, Alice Dewey, salah seorang anggota tim peneliti Amerika lainnya di Mojokuto selain Geertz, bahkan mengklarifikasikan abangan sebagai non-Muslim.
   Di lain pihak, kelompok santri diasosiasikan dengan Islam yang murni. Mereka berpengaruh khususnya di kalangan pedagang Jawa serta petani-petani Jawa yang relatif kaya. Ciri tradisi beragama kaum santri adalah pelaksanaan ajaran dan perintah-perintah dasar agama Islam secara hati-hati, teratur, dan juga oleh organisasi sosial dan amal, serta Islam politik yang begitu kompleks (Geertz, 1960:5-6). Namun dalam pandangan Geertz, monoteisme murni, moralisme yang ketat, perhatian yang ketat terhadap doktrin, dan ekslusivisme yang tidak toleran dari kelompok santri merupakan hal yang asing bagi pandangan tradisional masyarakat Jawa (Geertz, 1960: 160). Hal ini menjadikan mengapa santri tetap menjadi minoritas dalam masyarakat Jawa (Geertz, 1972: 71).
   Priyayi merupakan keturunan aristokrat (kaum ningrat) dan pegawai sipil kontemporer. Tradisi keberagamaan mereka dicirikan oleh kehadiran unsur-unsur Hindhu dan Budha yang berperan penting dalam membentuk pandangan dunia, etika, serta tindakan sosial pegawai-pegawai kerah putih yang berpendidikan Barat sekalipun. Jadi, meski berdasarkan jumlah statistiknya ternyata lebih kecil, kelompok priyayi ini memanfaatkan kepemimpinan ideologis dan kultural mereka terhadap seluruh masyarakat (Geertz, 1960: 6). Nilai-nilai utama dari etos priyayi menurut Geertz adalah nrima (menerima takdir dengan kebesaran jiwa), sabar (sikap tidak terburu-buru, hilangnya ketidaksabaran, tidak keras kepala), dan ikhlas (keterlepasan dari kepentingan-kepentingan duniawi yang fana) (Geertz, 1960: 240-241).
   Kaum priyayi yang mencerminkan sebagai golongan Jawa Kejawen atau abangan banyak berasal dari pengikut-pengikut paguyuban, yaitu kelompok yang mengusahakan kesempurnaan hidup manusia melalui praktek-praktek asketis, meditasi dan mistik (Magniz Suseno, 1993: 13). Meskipun pada awalnya pola keberagamaan asketik (paguyuban-paguyuban kejawen) itu dibangun oleh kaum priyayi, namun dalam perkembangannya banyak juga wong cilik (rakyat biasa) yang mengikuti paguyuban tersebut.

3. Produk Budaya Abangan, Santri dan Priyayi
• Produk Abangan
1) Babaran
   Menjelang kelahiran, sebagian orang mengadakan slametan kecil hanya dengan anggota keluarganya saja, yang hidangannya terdiri atas sepiring jenang dengan pisang yang telah di kupas di tengahnya untuk melambangkan kelahiran yang lancar. Akan tetapi, slametan seperti ini lebih sering ditinggalkan, bahkan oleh orang abangan yang cukup ketat.
2) Pasaran
   Lima hari sesudah selamatan pertama untuk bayi di selengarakan pula sebuah selmatan yang agak lebh besar yaitu pasaran, dimana bayi itu diberi nama. Secara teoritis, anak itulah yang memegang keputusan terakhir dalam penamaan anaknya dan biasanya ia mengumumkanny dalam sambutan pada upacara selamatan.
   Penentuan waktu pasaran tergantung pada terlepasnya sisa tali pusar si anak. Banyak praktis-praktis magis yang secara tradisional dihubungkan dengan pasaran, masih dilakukan hingga sekarang. Sehelai benang, lagi-lagi di pintal dengan cara tradisional, di rentankan di sekeliling rumah persis di bawah atap untung mengusir makhluk jahat.
3) Upacara khitanan
   Khitanan merupakan upacara menyambut masa remaja pada orang jawa pada laki-laki. Kebanyakan anak lelaki di jawa sunat pada usia 10 – 15 tahun. Upacara ini memberikan kesempatan utama untuk pengluaran yang berlebih-lebihan dalam kehidupan orag jawa.
   Hiburan sewaan yang meriah wayang kulit dengan seperangkat alat gamelan, orkes model barat atau robongan tari. Menurut kebiasaan, penyunatan dilakukan oleh seorang ahli yang disebut calak (boong) yang sering kali merangkap sebagai tukang cukur atau dukun .
• Produk Santri
1) Sorongan
   Sorongan merupakan metode yang ditempuh dengan cara ustadz menyampaikan pelajaran kepada santri secara individual. Sasaran metode ini biasanya kelompok santri pada tingkat rendah yaitu mereka yang baru menguasai pembacaan Alquran. Melalui sorongan pengembangan intelektual santri dapat ditangkap oleh kyai secara utuh. Beliau dapat memberikan bimbingan secara penuh sehingga dapat memberikan tekanan pengajaran terhadap santri-santri tertentu atas dasar observasi langsung terhadap tingkat kemampuan dasar dan kapasitas mereka. Kelemahan penerapan metode ini menuntut pengajar untuk bersikap sabar dan ulet, selain itu membutuhkan waktu yang lama yang berarti pemborosan, kurang efektif dan efisien. Kelebihannya yaitu secara sigmifikan ustadz mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan santri dalam menguasai materi yang diajarkan.
2) Wetonan
   Wetonan atau disebut juga metode bandungan adalah metode pengajaran dengan cara ustadz atau kyai membaca, menerjemahkan, menerangkan dan mengulas kitab atau buku-buku keislaman dalam bahasa arab, sedangkan santri mendengarkannya.
   Mereka memperhatikan kitab atau bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan tentang kata-kata yang diutarakan oleh ustadz atau kyai. Kelemahan dari metode ini yaitu mengakibatkan santri bersifat pasif. Sebab kreatifitas santri dalam proses belajar mengajar didominasi oleh ustadz, sementara santri hanya mendengar dan memperhatikan. Kelebihan dari metode ini yaitu terletak pada pencapaian kuantitas dari pencapaian kajian kitab, selain itu juga bertujuan untuk mendekatkan relasi antara santri dengan kyai atau ustadz.
3) Ceramah
   Ceramah ini merupakan hasil pergeseran dari sorongan dan wetonan. Said dan Affan melaporkan bahwa wetonan dan sorongan yang semula menjadi ciri khas pesantren, pada beberapa pesantren telah diganti dengan metode ceramah sebagai metode pengajaran yang pokok dengan sistem klasik. Namun pada beberapa pesantren lainnya masih menggunakan metode sorongan dan wetonan untuk pelajaran agama, sedangkan untuk pelajaran umum menggunakan metode ceramah. (Said dan Affan: 98).
   Kelemahan dari metode ini justru mengakibatkan santri menjadi lebih pasif, sedangkan kelebihannya yaitu mampu menjangkau santri dalam jumlah banyak, bisa diterapkan pada peserta didik yang memiliki kemampuan heterogen dan pengajar mampu menyampaikan materi yang relatif banyak.
4) Muhawarah
   Muhawarah adalah metode yang melakukan kegiatan bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa arab yang diwajibkan pesantren kepada para santri selama mereka tinggal di pondok (Arifin:39). Sedangkan pesantren hanya mewajibkan pada saat tertentu yang berkaitan dengan kegiatan lain. Namun, sebagian pesantren yang lain ada yang mewajibkan para santrinya menggunakannya setiap hari.
   Kelebihan metode ini yaitu dapat membentuk lingkungan yang komunikatif antara santri yang menggunakan bahasa arab dan secara kebetulan dapat menambah pembendaharaan kata tanpa hafalan. Pesantren yang menggunakan metode ini secara intensif selalu berhasil mengembangkan pemahaman bahasa.
• Produk Priyayi
1) Kirab budaya
   Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kirab berarti perjalanan bersama-sama atau beriringan-iringan secara teratur dan berurutan, dari depan ke belakang pada suatu rangkaian upacara (adat, keagamaan, dsb) atau dapat juga disebut dengan pawai. Sedangkan, Budaya berarti pikiran; budi pekerti; adat istiadat; yang sudah berkembang dan sesuatu yang sukar untuk diubah. Jadi, kirab budaya bisa diartikan sebagai pawai yang diadakan untuk memperkenalkan budaya-budaya yang ada di Indonesia.
   Kirab budaya selalu diselengarakan di kota-kota besar di Indonesia, termasuk ibukota Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain sebagai pengenalan budaya-budaya yang ada di Indonesia, kirab budaya dapat membentuk karakter masyarakat agar mempunyai potensi seni dan kreativitas dalam mempertahankan sejarah maupun budayanya.
   Tetapi, haruslah diakui, kirab budaya lebih dekat dengan masyarak]]at Yogyakarta. Lantaran istilah ini tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia. Dalam hal ini pula, kirab budaya kerap dimanifestasikan sebagai filsafat Yogyakarta: sengguh ora mingkuh.
   Masyarakat Indonesia sendiri sangat entusias untuk menyemarakkan kirab budaya ini. Tidak hanya dari kalangan wisatawan lokal tetapi juga ada wisatawan asing yang datang hanya untuk menyemarakkan kirab budaya ini. Kirab budaya juga dapat menarik para wisatawan untuk berkunjung dan melihat budaya suatu wilayah tersebut. Selain itu juga untuk memamerkan budaya-budaya Indonesia agar dikenal di kalangan anak-anak hingga orang dewasa.

PENUTUP


Kesimpulan
   Kehadiran Islam di tanah Jawa membuahkan di tanah Jawa membuahkan dua kelompok atas dasar keagamaannya, meskipun keduanya secara nominal termasuk agama Islam (Magniz Suseno, 1993:13). Golongan pertama dalam kesadaran dan cara hidupnya lebih ditentukan oleh tradisi-tradisi Jawa pra-Islam dan berusaha untuk hidup menurut ajaran Islam, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan santri. Sedangkan golongan kedua adalah abangan atau Jawa Kejawen yang diwakili oleh kaum priyayi tradisional, meskipun mereka secara resmi mengakui Islam sebagai agamanya. Abangan, Santri dan Abangan memiliki banyak produk budaya :
• Santri : Sorongan, Wetonan, Ceramah, Muhawarah
• Abangan : Babaran, Pasaran, Upacara Khitnan
• Priyayi : Kirab Budaya

DAFTAR PUSTAKA


1. Khalim Samidi, Islam & Spiritualitas Jawa RaSAIL Media Group, Semarang 2008.
2. Syam Nur, Islam Pesisir PT LKIS Pelangi Aksara Yogyakarta 2005
3. Pranowo M. Bambang, Memahami Islam Jawa, Pustaka Alvabet, Jakarta 2011.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment

jika ada kekurangan dan salah kata mohon maaf. semoga bermanfaat