RSS

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MAKALAH
Qiyas
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : Mishbah Khaeruddin Zuhri


Oleh :

Wachidatuzzuhro (1604016046)
Riski Ayu Oktaviani (1604016047)
Erna Rosalina (1604016079)



FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017



PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG

      Ushul fiqh adalah kaedah-kaedah yang merupakan sarana untuk mendapatkan hukumnya suatu perbuatan yang diperoleh dengan jalan mengumpulkan dalil secara terperinci. Tujuan mempelajari ilmu tersebut adalah untuk mengetahui dasar-dasar pembinaan hokum agama dan maksud-maksud yang hendak diwujudkan serta bagaimana orang bisa melakukan istinbat hukum yang belum jelas diterangkan di dalam Al Quran dan Al Sunnah. Selain Al Quran dan Al Sunnah, dilakukan juga satu jalan untuk menetapkan hukum Islam yaitu dengan jalan istinbat hukum. Qiyas adalah salah satu yang dijadikan sebagai sumber hukum Islam selain Al Quran dan Al Sunnah.

  2. RUMUSAN MASALAH
    1. Apa pengertian dari qiyas?
    2. Apa sajakah rukun qiyas?
    3. Apa sajakah macam-macam illat?
    4. Apa saja macam-macam qiyas?
    5. Bagaimana kehujjahan qiyas sebagai sumber hukum islam?

  3. TUJUAN PENULISAN
    1. Untuk mengetahui pengertian dari qiyas.
    2. Untuk mengetahui rukun qiyas.
    3. Untuk mengetahui macam-macam illat.
    4. Untuk mengetahui macam-macam qiyas.
    5. Untuk mengetahui kehujjahan qiyas sebagai sumber hukum islam.

PEMBAHASAN

  1. Pengertian Qiyas

      Qiyas secara bahasa berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Qiyas secara istilah banyak dikemukakan oleh para ulama’, antara lain:

    1. Shadr al-Syariah, qiyas adalah memberlakukan hukum asal pada hukum cabang disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja.
    2. Mayoritas ulama’ Syafi’iyah, qiyas adalah membawa hukum yang belum diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya atau meniadakan hukum bagi keduanya, disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum, maupun sifatnya.
    3. Wahbah al-Zuhaili, qiyas adalah menyamakan kasus yang belum ada ketetapan hukumnya berdasarkan nash kepada kasus yang sudah ada ketetapan hukumnya berdasarkan nash, disebabkan kesatuan illat hukum diantara keduanya.
    4.   Sedangkan, qiyas menurut istilah ahli ushul fiqh adalah menyamakan suatu hukum dari peristiwa yang tidak memiliki nash hukum dengan peristiwa yang sudah memiliki nash hukum, sebab sama dalam illat hukumnya.

  2. Rukun Qiyas

      Dari definisi qiyas yang telah dibahas maka qiyas mempunyai beberapa rukun yaitu:

    1. Ashal atau pokok, yaitu suatu kasus yang sudah ada ketetapan hukumnya berdasarkan nash Al Quran atau Al Sunnah. Menurut sebagian besar ulama’ fiqh, sumber hukum yang digunakan sebagai dasar qiyas haruslah berupa nash, dalam hal ini adalah Al Quran, Al Sunnah, atau Ijma’.
    2. Far’un atau cabang, yaitu suatu hukum yang belum ada ketatapan hukumnya berdasarkan nash Al Quran dan Al Sunnah yang ingin disamakan hukumnya dengan ashal. Maka dari itu, far’un harus memenuhi dua syarat yaitu:
      • Kasus tersebut belum terdapat nash hukumnya di dalam Al Quran dan hadis. Sebab, qiyas tidak berlaku pada sesuatu yang telang jelas nashnya.
      • Illat hukum itu harus benar-benar terwujud dalam kasus baru, sama jelasnya dengan illat hukum ashal.
    3. Hukum ashal, yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh nash pada ashal dan ingin ditetapkan juga pada far’un. Penetapan hukum asal kepada kasus hukm baru karena adanya persamaan antara keduanya maka harus memenuhi persyaratan yaitu:
      • Hukum harus berupa hukum syara’ yang amaliah. Qiyas hukum tidak akan terjadi kecuali hukum-hukum yang bersifat amaliah, karena itulah yang menjadi sasaran fiqh islam.
      • Harus berupa hukum yang rasional. Maksudnya ialah suatu hukum yang dapat ditangkap sebab dan alasan penetapannya sesuai dengan akal rasional manusia.
    4. Illat hukum, yaitu sifat yang menjadi dasar penetapan hukum pada ashal dan oleh karena sifat tersebut juga terdapat pada far’un, maka far’un disamakan hukumnya dengan ashal. Adapun syarat yang mengesahkan illat sebagai dasar qiyas adalah:
      • Illat harus berupa sifat yang jelas dan tampak, sehingga illah menjadi sesuatu yang menentukan.
      • Illat harus kuat, tidak terpengaruhi individu, situasi, maupun keadaan lingkungan, dengan satu pengertian yang dapat mengakomodasi seluruh perubahan yang terjadi.
      • Harus ada korelasi (hubungan yang sesuai) antara hukum dengan siffat yang menjadi illat.
      • Sifat-sifat yang menjadi illat yang kemudian melahirkan qiyas harus berjangkauan luas, tidak terbatas hanya pada satu hukum tertentu.
      • Tidak bertentangan dengan sebuah dalil dalam nash. Apabila terjadi pertentangan maka illat tersebut tidak patut dijadikan sebagai dasar qiyas.

  3. Macam-macam Illat

      Dilihat dari cara mendapatkan illat, ulama’ ushul fiqh membagi illat menjadi dua yaitu:

    1. Illat manshuhah, adalat illat yang ditunjuk oleh nash. Maksudnya, nash yang menunjukkan bahwa suatu sifat merupakan illat hukum dari sesuatu yang diterangkan oleh nash. Nash tentang illat hukum ada dua macam, yaitu:
      • Sharahah, yaitu lafadz yang terkandung dalam nash yang menunjuk pada illat hukum yang sangat jelas. Karena kejelasannya maka tidak ada kemungkinan bahwa yang ditunjuk oleh nash tersebut ada illat yang lain.
      • Isyarah, adalah petunjuk yang dipahami dari sifat yang ditunjuk oleh nash itu tidak langsung dapat diketahui kecuali melalui pemahaman bahwa ada sifat yeng menyertainya. Sifat inilah menjadi illat hukum.
    2. Illat mustanbathah, adalah suatu illat hukum yang tidak ditunjuk langsung oleh nash, tidak ada pula dalam ijma’ yang menetapkannya, maka keberadaannya ditetapkan dalam bentuk sebagai berikut:
      • Al Munaasib al Mu’tsir (sesuai yang berpengaruh) adalah sifat sesuai yang digunakan syar’i untuk membuat hukum yang sesuai.
      • Al Munaasib al Mulaa-im adalah sifat sesuai yang oleh syar’I dijadikan dasar menghasilkan hukum yang sesuai dengan sifat itu.
      • Al Munaasib al Mursal adalah sifat yang tidak digunakan oleh syar’i untuk menghasilakan hukum yang sesuai dengan sifat itu, tidak ada dalil syara’ untuk menganggapnya salah satu bentuk anggapan sebagai mana tersebut diatas dan tidak menunjukan bahwa sifat itu sia-sia. Tetapi sifat itu sesuai, artinya dapat membuktikan kemaslahatan, hanya saja ia tak terbatas, yakni tidak memiliki petunjuk anggapan dan petunjuk sia-sia.
      • Al Munaasib al Mulghaa adalah sifst ysng menjelaskan bahwa dalam menetapkan hukum atas sifat itu mewujudkan kemaslahatan. Tetapi syari’ tidak menghasilkan hukum yang sesuai dengan sifat itu, dn syari menunjukan beberapa dalil atas tidak digunakannya anggapan tersebut.

  4. Macam-macam Qiyas

      Pembagian Qiyas dapat dilakukan dengan melihat beberapa aspek, antara lain :

    1. Dari segi kekuatan illat yang terdapat pada ashal dan Far’un, Qiyas dibagi menjadi tiga, yaitu :
      • Qiyas Aulawi, adalah Qiyas yang dimana illat yang terdapat pada far’un lebih kuat di banding illat yang terdapat pada ashal.
      • Qiyas Musawi, adalah Qiyas diamana illat hukum yang terdapat pada far’un sama kuatnya dengan illat yang terdapat pada ashal.
      • Qiyas Adna, adalah Qiyas dimana illat yang terdapat pada far’un lebih lemah dibandingkan illat hukum yang terdapat pada ashal.
    2. Dari segi kejelasan illatnya, qiyas dibagi menjadi dua, yaitu :
      • Qiyas Jali, adalah Qiyas yang illat hukumnya di tetapkan didalam nash bersamaan dengan penetapan hukum pada ashal atau illat tersebut tidak diterapkan dalam nash, namun titik perbedaan antara ashal dan far’un dapat dipastikan tidak ada pengaruhnya.
      • Qiyas Khafi, adalah Qiyas yang illat hukumnya tidak disebutkan dalam nash, tetapi di-istinbatkan dari hukum asal yang memungkinkan kedudukan illatnya bersifat zhonni.

  5. Kehujjahan qiyas sebagai sumber hukum islam.

      Dalam pandangan Jumhur Ulama, Qiyas adalah hujjah syara’ atas hukum-hukum sebangsa perbuatan dan sebagai hujjah syara’ yang keempat. Para fuqqaha berlebih kurang dalam menggunakan qiyas. Ada yang banyak menggunakannya dan ada yang sedikit. Ulama golongan Hanafiyah mendahulukan qiyas dibandingkan hadis ahad yang tidak mashur. Ahmad ibn Hanbal menggunakan qiyas di waktu darurat saja dan ketika tidak memperoleh dalil dari sunnah walaupun dhoif. Malik dan asy Syafi’i bersikap netral. Dan ada pula golongan yang tidak membenarkan penggunaan qiyas seperti Daud, ibnu Hazm, segolongan dari Syiah dan segolongan dari Mu’tazilah.

      Alasan ulama yang menetapkan qiyas sebagai hujjah syara’ dengan mengambil dari dalil al-Qur’an, as-Sunnah, pendapat dan perbuatan sahabat, juga illat-illat rasional.

    1. Ayat-ayat al-Qur’an yang digunakan sebagai dalil ada 3 ayat yaitu: (QS.an-Nisa:59), (QS.al-Hasyr:2), dan (QS.Yasin:79).
    2. Sunnah yang di ambil sebagai dalil ada 2 yaitu : Hadits Mu’adz bin Jabal dan banyak contoh qiyas yang dilakukan oleh Rasulullah pada juz pertama kitab I’laamul Muwaqqi’iin.
    3. Adapun alasan ketiga pengambilan qiyas sebagai hujjah syara’ adalah adanya ucapan dan perbuatan para sahabat. Mereka berijtihad mengenai masalah-masalah yang tidak memiliki Nash hukum dan mengqiyaskan hukum yang tidak memiliki nash dengan hukum yang memiliki nash dengan cara membandingkan antara yang satu dengan yang lain.
    4. Alasan yang keempat adalah adanya illat rasional dalam menetapkan qiyyas. Illat rasional tersebut ada 3 yaitu:
      • Allah tidak menetapkan hukum syara’ kecuali unyuk kemaslahatan dan kemaslahatan umat adalah tujuan akhir dari penetapan hukum syara’. Bila suatu kejadian yang tidak memiliki nash ada kesamaan dengan kejadian yang memiliki nash dalam hal illat hukumnya dan kuat untuk kemaslahatan maka harus ditetapkan sebagai hukum.
      • Nash al-Qur’an dan as-Sunnah sangat terbatas da nada hadisnya. Sedangkan kejadian dan permasalahan manusia tidak terbatas dan tidak ada habisnya.
      • Qiyas adalah dalil yang di dukung oleh naluri yang sehat dan teori yang benar.

      Alasan ulama yang menolak qiyas sebagai hujjah syara,yang keempat adalah:

    1. Alasan yang paling kuat adalah Qiyas itu di dasarkan pada dugaan, yakni illat hukum nash itu begini. Padahal sesuatu yang mengikuti dugaan hasilnya adalah dugaan. Seperti yang tertulis pada QS.Al-Israa’:36) ini adalah alasan lemah karena yang dilarang adalah mengikuti dugaan dalam hal aqidah, sedangkan dalam hal hukum yang sebangsa perbuatan, kebanyakan petunjuk hukumnya adalah dugaan. Jika alasan tersebut dibenarkan maka nash yang ditunjuk hukumnya dugaan tidak boleh di amalkan.
    2. Qiyas di dasarkan pada perbedaan pandangan dalam menemukan illat hukum, dan hal itu adalah sumber perbedaan dan pertentangan hukum. Sedangkan diantara hukum-hukum syara’ yang bijaksana ini tidak ada pertentangan.alasan ini lebih lemah dari pada illat sebelumnya karena perselisihan akibat qiyas bukanlah perselisihan dalam hal aqidah. Tetapi perselisihan pada masalah hukum sebangsa perbuatan yang tidak mendatangkan kerusakan bagi aqidah umat.
    3. Ungkapan yang diterima mereka adalah dari sebagian sahabat yang mencela pendapat pribadi dan penentapan hukum dengan pendapat pribdi. Seperti pendpat umar. Pendapat sahabat tersebut, disamping tidak dapat dipercaya juga yang dimaksut bukanlah menolak qiyas atau menjadikannya sebagai hujjah. Tetapi yang dimaksut adalah karangan mengikuti hawa napsu dan tidak memiliki rujukan nash samasekali.

    PENUTUP

    KESIMPULAN

      Dari uraian di atas dapat kita ketahui bahwa qiyas menurut istilah ahli ushul fiqh adalah menyamakan suatu hukum dari peristiwa yang tidak memiliki nash hukum dengan peristiwa yang sudah memiliki nash hukum, sebab sama dalam illat hukumnya. Qiyas sebagai hujjah syara’ yang keempat memiliki rukun, yaitu ashal, far’un, hukum ashal, dan illat hukum. Sebagaian jumhur ulama’ menerima qiyas sebagai hujjah syara’. Sebagian lainnya ada yang menolaknya. Tentu saja setiap golongan memiliki alasan dalam pendapat mereka.


    DAFTAR PUSTAKA

    Thalib, Muhammad, Ilmu Ushul Fiqh, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1977)

    Suwarjin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012)

    Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Pustaka Amini 2003)

    Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum, dkk,( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010)

    Ash Shiddieqy,Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MAKALAH
Pengaruh Islam Pada Kerajaan Hindhu-Budha dan Kerajaan Islam
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : Dr.Samidi Khalim, M.S.I


Oleh :

Adi Agus R. (1604016056)
Dian Nurul F. (1604016058)
Abdul Mannan (1604016059)



FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017


PENDAHULUAN


  1. LATAR BELAKANG

      Sebelum di Jawa kemasukan agama Islam,di Jawa sudah menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Selanjutnya selain menganut kepercayaan itu,di Jawa sudah terpengaruhi oleh unsur-unsur agama Hindu-Budha dari Negara India. Tetapi tidak lama kemudian Islam masuk ke Jawa dengan melalui jalur perdaganan oleh para pedagang dari bangsa Arab sendiri dan oleh para penduduk orang China yang agamanya Islam.

      Islam adalah agama dari ALLAH SWT.yang di turunkan kepada Nabi MUHAMMAD SAW untuk disampaikan kepada semua umat manusia. Agama Islam yang berasal dari Negara Arab yang selanjutanya disebarkan ke seluruh dunia yang termasuk ke tanah Jawa. Masuknya Islam di Jawa dibawa oleh orang Arab,Persia dan Gujarrat dengan cara perdagangan, perkawinan, pendidikan, tasauf dan kesenian. Dalam penyebarannya di Jawa,para pendakwah agamaIislam tidak menggunakan cara kekerasan dan masyarakat Jawa menerima dengan baik.

      Masuk dan berkembangannya Islam di Jawa sampai kemudian Islam dapat diterima dan dianut hampir secara luas oleh seluruh masyarakat Jawa, hal ini tidak dapat dilepaskan dari peran penting tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa yang dikenal dengan sebutan Walisanga.

      Dalam hal ini, Jawa merupakan sentra dakwah Walisanga yang menjadi tonggak terpenting sejarah penyebaran Islam, sehingga kemudian Islam dapat diterima luas oleh masyarakat Jawa.

  2. RUMUSAN MASALAH
    1. Bagaimana Islam di Jawa beserta pengaruhnya pada masa kerajaan Hindu-Budha?
    2. Bagaimana Islam di jawa beserta pengaruhnya pada masa kerajaan Islam?

PEMBAHASAN

  1. Islam di Jawa dan pengaruhnya terhadap kerajaan Hindu-Budha

      Meskipun Islam masuk ke Jawa, termasuk agama yang lebih lambat masuk daripada agama Hindu dan Budha, tetapi masuknya Islam di Jawa itu pasti ada gangguan yang artinya agama Islam belum tentu langsung diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa. Di Jawa hampir mayoritas penduduknya beragama Islam dan Indonesia termasuk kelompok muslim yang terbesar di dunia mengalahkan negara yang asli melahirkan atau yang pertama ada agama agama Islam yaitu Mekkah dan Madinah.

      Sebelum Islam masuk ke Jawa, ada agama Hindu-Budha dan kepercayaan orang Jawa terhadap animisme dan dinamisme. Masuknya Islam di Jawa itu sekitar abat ke-15 yang salah satunya ditemukan makam FATIMAH BINTI MAIMOEN. Pengaruhnya Hindu-Budha yang sudah meninggalkan banyak warisan-warisan budaya danl ain-lain,menjadikan kebudayaan Jawa tidaklah membuat jati dirinya hilang atau musnah ,justru yang terjadi adalah kebangkitan budaya Jawa dengan memanfaatkan unsure-unsur agama Hindu-Budha.

      Masuknya Islam di Jawa itu masih ada kerajaan Hindu-Budha, maka para pendakwah Islam tidak mudah untuk menembus kerajaan yang masih ada kepercayaan agama Hindu-Budha. Namun para pejuang atau dakwah islamiyah tidaklah berhenti, tidak putus asa dan mengambil strategi baru, maka sasaranya sekarang adalah dari golongan bawah( wong cilik) di daerah pesisir yang begitu terbuka menerima kedatangan para dakwah dan menyambut baik ajaran-ajaran Islam. Dari sinilah Islam tumbuh subur dan menjadikan kekuatan besar,yang mampu menandingi wibawa kerajaan. Dengan semakin besar Islam di pesisir, lalu melanjutkan ke daerah pedalaman, maka dakwah Islam mulai masuk menembus benteng-benteng istana. Unsur-unsur Islam mulai meresap dan mewarnai sastra budaya dan tradisi-tradisi istana.sebagai hasil gemilang yang diraih oleh dakwah Islam adalah jatuhnya kerajaan Majapahit dan berdirinya kerajaan Demak.

      Tersebarnya pengaruh agama Islam pada masa Hindu-Budha di Jawa menyebabkan terjaadinya berbagai perubahan. Masuk dan berkembangnya Islam menimbulkan perpaduan budaya antara Hindu-Budha dan Islam. Munculnya pengaruh Islam sangat besar dan dapat dilihat melalui beberapa hal seperti:

    1. Pertunjukan Wayang
    2.   Sebagai salah satu warisan nenek moyang yang sudah umurnya berabad-abad yang masih bertahan sampai sekarang dan walau sudah mengalami perubahan. Dulu pertunjukan wayang sebagai upacara istiadat keagamaan dalam memuja dewa-dewa atau nenek moyag yang telah meninggal yang diperankan sebagai dewa. Bekas-bekasnya masih dapat dilihat pada pertunjukan wayang antara lain: dengan diadakannya sesajen dan pembakaran dupa sebelum pertunjukan dimulai, sering pertunjukan wayang diadakan untuk menolak malapetaka atau penyakit dan laian-lain.

        Sebelum agama Islam masuk, wayang jalan ceritanya diambil dari parwa Mahabarata dan Ramayana. Tetapi setelah masuknya agama Islam, pementasan wayang yang dilakukan oleh para walisongo khususnya Sunan Kalijaga dijadikan sebagai jalan dakwah untuk menyebarkan agama Islam. Sehingga pertunjukan wayang tidak hanya dijadikan sebagai sarana pendidikan, komunikasi, dan hiburan rakyat juga sebagai sarana dakwah agama Islam.

    3. Tatanan Kota
    4.   Dalam Islam,di Jawa muncul kota-kota baru dan pasti ada komponen utama dalam tengah-tengah kota seperti masjid agung, pendopo, pasar, pemungkiman masyarakat, dan pertahanan keamanan

      Contoh:

    5. Tradisi Sekaten
    6.   Menurut sejarahnya, perayaan sekaten bermula sejak kerajaan Demak. Tetapi pada jaman pemerintahan Raja Hayam Wuruk di Majapahit, perayaan sekaten sudah ada tetapi namanya yaitu “Srada Agung”. Perayaan yang menjadi trdisi kerajaan Majapahit tersebut berupa persembahan sesaji kepada para dewa disertai dengan pembacaan mantra-mantra, dan untuk menghormati para arwah leluhur Setelah kerajaan Majapahit runtuh,perayaan tersebut dijadikan perayaan Islami. Serta menjadi sarana syiar Islam yang dilakukan para wali dengan membunyikan gamelan yang bernama kyai Sekati pada setiap bulan mulud (jawa) dalam rangka perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Perayan tersebut terus menjadi nama Sekaten dari kata “Skati”.

    7. Pesantren dan Masjid
    8.   Pesantren yang diperkirakan meniru cara pendidikan Hindu yang dikenal dengan mandala yang digunakan untuk mendidik calon Bramana. Dalam pembuatan masjid ,para wali juga melakukan improvisasi. Contohnya itu masjid di Kudus,Sunan Kudus membuat menara yang mirip dengan pura dalam agama Hindu.

  2. Islam di Jawa dan Pengaruhnya terhadap kerajaan Islam

      Munculnya kerajaan Islam pada saat itu adalah setelah kemunduran kerajaan Majapahi dan berdirinya kerajaan Demak. Pada saat itulah pertamanya kerajaan Islam yang berdiri dan barulah kerajaan Islam lainnya berdiri seperti kerajaan Cirebon, Banten, Mataram dan lain-lain.

      Penerimaan Islam dan islamisasi secara politik ditandai dengan berdirinya pesantren-pesantren di Jawa Timur yang puncaknya adalah berdirinya kerajaan Islam Demak sekitar tahun 1478 M. Pada masa Demak ini tampaknya upaya serius para ulama untuk mengadakan corak gerakan yang corak ini tampak dalam dua wajah yakni gerakan budaya dan gerakan politik. Gerakan politik ini sepeti pemberian nama gelar-gelar raja Islam seperti gelar Sultan, khalifihtullah dan lain-lain.

      Selain dalam bidang politik, kemajuan juga dalam bidang perekonomian. Pada perekonomian di kerajaan Demak berkembang dengan pesat dalam bidang maritim karena didukung oleh penghasilan dalam bidang agraris yang cukup besar. Kerajaan Demak mengusahakan kerjasama yang baik dengan daerah-daerah di pantai utara pulau Jawa yang telah menganut agama Islam. Selanjutnya kerajaan Banten yang didirikan Fatahillah, sebagai penyebar agama Islam di Jawa Barat, terutama daerah Banten dan Cirebon. Pada sekitar tahun 1600 Banten mengalami kejayaan. Setiap pedagangan yang menjual atau membeli lada, tentu akan menuju Banten.

      Selain dalam bidang politik dan ekonomi juga dalam bidang arsitektur, social budaya dan seni. Dalam bidang ini yang paling menonjol pada saat Sunan Kudus yang dalam arsitektur itu contohnya yaitu menara Masjid Kudus. Dalam bidang sosial budaya Sunan Kudus menggunakan cara dakwahnya dengan acara bedug dandangan dan dalam bidang seni Sunan Kudus menciptakan tembang Maskumambang dan Mijil.

    KESIMPULAN

      Dari uraian diatas ,kiranya ada beberapa hal pokok yang dapat ditarik sebagai kesimpulan. Pertama, masuknya Islam pada masa kerajaan Hindu-Budha menyebabkan terjadinya berbagai perubahan dalam kehidupan masyarakat. Perubahan-perubahan ini terlihat jelas ketika Islam masuk dan berkembang menimbulkan perpaduan budaya antara agama Hindu-Budha dengan Islam. Pengaruhnya Islam sangat besar dan dapat dilihat dari beberapa hal seperti:pertujukan wayang, tatanan kota, tradisi sekaten, pesanterndan masjid. Kedua, pengaruh Islam di Jawa pada kerajan Islam dapat dilihat dari politik yang sangat maju dan pemberian gelar-gelar kepada para raja kerajaan Islam seperti gelar Sultan, khalifahtullah, susuhunan dan lain-lain. Dalam bidang perekonomian yang sangat maju dalam bidang perdagangan seperti kerajaan Banten menjual atau membeli lada menuju Banten. Bidang arsitektur yaitu adanya menara masjid Kudus yang dibuat oleh sunan Kudus dengan ada corak kehinduan. Sosial budaya, Sunan Kudus menggunakan cara dakwahnya dengan acara bedug dandangan dan dalam bidang seni Sunan Kudus menciptakan tembang Maskumambang dan Mijil.


    DAFTAR PUSTAKA

    Samidi khalim.Islam & Spiritualitas Jawa.Semarang:RaSAIL Media Group,April 2008

    Samidi Khalim.Salat Islam Kejawen.Semarang:PrimaMedia press,November 2010

    Sri Suhandjati.Islam dan Kebudayaan Jawa Revitalisasi Kearifan Lokal. Semarang:CV.Karya Abadi Jaya, Nopember 2015

    Anasom. Interelasi Islam Dan Budaya Jawa. Semarang:CV.Karya Abadi Jaya,Nopember 2015

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MAKALAH
Abangan, Santri, dan Priyai
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : Dr.Samidi Khalim, M.S.I


Oleh :

Alifia Ainun Nida (1604016060)
M. Arfani Murdianto (1604016061)
Intania Dea Feblianita (1604016062)



FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017


PENDAHULUAN



A. Latar Belakang
   Ketika ditanya tentang keberagamaan mereka, sebagian besar masyarakat Jawa secara otomatis akan menjawab, mereka adalah penganut Agami Islam (agama Islam) (Koentjaraningrat. 1984:311). Memang, lebih dari 95 persen dari kurang lebih 55 juta orang Jawa adalah Muslim. Meskipun, menurut Ricklefs, masyarakat Jawa kadang-kadang dianggap ‘Muslim yang buruk’, namun dalam pandangan Ricklefs, pernyataan ini tidak akan membantu kita dalam memahami bagaimana perkembangan agama di Jawa, apa saja alasan keunikannya, atau dimana posisinya dalam sejarah Islam atau agama secara umum (Ricklefs, 1979:100).
   Sebagaimana yang dapat kita lihat bersama, geertz dalam Religion of Java, mendeskripsikan identitas Muslim Jawa dengan merumuskan trikonomi abangan, santri, dan priyayi (Geertz:1960).

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari abangan, santri dan priyayi?
2. Apa ciri-ciri tradisi keberagamaan dari abangan, santri dan priyayi?
3. Apa saja budaya dari abangan, santri dan priyayi?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian abangan, santri dan priyayi.
2. Memahami ciri-ciri tradisi keberagamaan abangan, santri dan priyayi.
3. Mengetahui budaya dari abangan, santri, dan priyayi.

PEMBAHASAN



1. Pengertian Abangan, Santri dan Priyayi
   Kehadiran Islam di tanah Jawa membuahkan di tanah Jawa membuahkan dua kelompok atas dasar keagamaannya, meskipun keduanya secara nominal termasuk agama Islam (Magniz Suseno, 1993:13). Golongan pertama dalam kesadaran dan cara hidupnya lebih ditentukan oleh tradisi-tradisi Jawa pra-Islam dan berusaha untuk hidup menurut ajaran Islam, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan santri. Sedangkan golongan kedua adalah abangan atau Jawa Kejawen yang diwakili oleh kaum priyayi tradisional, meskipun mereka secara resmi mengakui Islam sebagai agamanya.
• Pengertian Santri
   Kata santri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti orang yang mendalami agama Islam dan orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh (orang yang shaleh). Seorang santri harus mempunyai tiga unsur yang berperan dalam kehidupannya yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Sehingga semua ilmu tentang Iman, Islam, dan Ihsan dipelajari di pesantren menjadi seorang santri yang dapat beriman kepada Allah secara bersungguh-sungguh, berpegang teguh kepada aturan Islam, serta dapat berbuat ihsan terhadap sesama.
   Menurut Nurcholish Madjid, kata ‘santri’ dapat dilihat dari dua pendapat. Pertama, ‘santri’ berasal dari perkataan ‘sastri’, bahasa Sansekerta yang artinya melek huruf. Di sisi lain, Zamkhsyari Dhofier berpendapat bahwa kata “santri” dalam bahasa India secara umum dapat diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Kedua, yang mengatakan “santri” berasal dari bahasa Jawa, yaitu “cantrik”, berarti seseorang yang selalu mengikuti guru kemana guru itu pergi menetap.
• Pengertian Abangan
Abangan merupakan umat muslim nominal (muslim KTP) yang memandang Islam terutama sebagai sumber praktik ritual di tahapan tertentu dalam kehidupan. Seorang muslim abangan jarang atau tidak pernah bersembahyang, tidak bisa mengucapkan kalimat syahadat atau membaca Alqur’an, jarang atau tak pernah berpuasa. pada bulan Ramadhan, dan nyaris tidak pernah berpikir untuk mengalokasikan uangnya untuk pergi naik haji ke Mekah. Tetapi, pada waktu kelahiran dan kematian, kaum abangan akan berharap bahwa ritual Islam dijalankan. Dan, versi-versi tertentu dalam ritual Islam juga mungkin dilaksanakan pada peristiwa sunatan atau pernikahan.
• Pengertian Priyayi
   Priyayi merupakan keturunan aristokrat (kaum ningrat) dan pegawai sipil kontemporer. Priyayi ialah yang berpusat di kota dan memiliki keyakinan, tata ritual serta tradisi yang berbeda dan mereka kebanyakan di pengaruhi oleh tradisi Hindu/Budha. Mereka ini berbeda dengan dua kategori sebelumnya karena mereka adalah wong alusan.
   Istilah priyayi asal mulanya hanya diperuntukkan bagi kalangan aristokrasi turun-temurun oleh Belanda, yang dengan mudahnya dicomot oleh raja-raja pribumi yang ditaklukkan untuk kemudian diangkat sebagi pejabat sipil yang digaji. Elit pegawai ini, yang ujung akarnya terletak pada keraton Hindu-Jawa sebelum masa kolonial, memelihara dan mengembangkan etiket keraton yang sangat halus, kesenian yang sangat kompleks dalam tarian, musik dan sastra, dan kentalnya mistisisme Hindu-Budha.
   Kaum priyayi umumnya selalu berada di kota-kota, bahkan salah satu ciri Jawa modern yang secara sosiologis paling menarik adalah besarnya jumlah priyayi di kota-kota. Sebagian karena tidak stabilnya politik dalam kerajaan-kerajaan masa pra-kolonial; sebagian karena filsafat mereka yang melihat “ke dalam” yang lebih menghargai prestasi mistik daripada keterampilan politik; sebagian karena tantangan Belanda terhadap usaha mereka merangkul kaum tani, sehingga kaum priyayi itu tidak mampu menjadikan diri mereka priyayi tuan tanah.

2. Ciri-Ciri Abangan, Santri dan Priyayi    Menurut Geertz, tradisi agama abangan, yang dominan dalam masyarakat petani, terutama terdiri dari ritual-ritual yang dinamai slametan, kepercayaan yang kompleks dan rumit terhadap roh-roh, dan teori-teori serta praktik-praktik pengobatan, tenung dan sihir. Slametan, sebagai ritual terpenting masyarakat abangan, bertujuan menenangkan roh-roh dan untuk memperoleh keadaan slamet-yang ditandai dengan tidak adanya perasaan sakit hati pada orang lain serta keseimbangan emosional (Geertz, 1960:5-14). Karena orientasi abangan abangan lebih animistik ketimbang Islam, Alice Dewey, salah seorang anggota tim peneliti Amerika lainnya di Mojokuto selain Geertz, bahkan mengklarifikasikan abangan sebagai non-Muslim.
   Di lain pihak, kelompok santri diasosiasikan dengan Islam yang murni. Mereka berpengaruh khususnya di kalangan pedagang Jawa serta petani-petani Jawa yang relatif kaya. Ciri tradisi beragama kaum santri adalah pelaksanaan ajaran dan perintah-perintah dasar agama Islam secara hati-hati, teratur, dan juga oleh organisasi sosial dan amal, serta Islam politik yang begitu kompleks (Geertz, 1960:5-6). Namun dalam pandangan Geertz, monoteisme murni, moralisme yang ketat, perhatian yang ketat terhadap doktrin, dan ekslusivisme yang tidak toleran dari kelompok santri merupakan hal yang asing bagi pandangan tradisional masyarakat Jawa (Geertz, 1960: 160). Hal ini menjadikan mengapa santri tetap menjadi minoritas dalam masyarakat Jawa (Geertz, 1972: 71).
   Priyayi merupakan keturunan aristokrat (kaum ningrat) dan pegawai sipil kontemporer. Tradisi keberagamaan mereka dicirikan oleh kehadiran unsur-unsur Hindhu dan Budha yang berperan penting dalam membentuk pandangan dunia, etika, serta tindakan sosial pegawai-pegawai kerah putih yang berpendidikan Barat sekalipun. Jadi, meski berdasarkan jumlah statistiknya ternyata lebih kecil, kelompok priyayi ini memanfaatkan kepemimpinan ideologis dan kultural mereka terhadap seluruh masyarakat (Geertz, 1960: 6). Nilai-nilai utama dari etos priyayi menurut Geertz adalah nrima (menerima takdir dengan kebesaran jiwa), sabar (sikap tidak terburu-buru, hilangnya ketidaksabaran, tidak keras kepala), dan ikhlas (keterlepasan dari kepentingan-kepentingan duniawi yang fana) (Geertz, 1960: 240-241).
   Kaum priyayi yang mencerminkan sebagai golongan Jawa Kejawen atau abangan banyak berasal dari pengikut-pengikut paguyuban, yaitu kelompok yang mengusahakan kesempurnaan hidup manusia melalui praktek-praktek asketis, meditasi dan mistik (Magniz Suseno, 1993: 13). Meskipun pada awalnya pola keberagamaan asketik (paguyuban-paguyuban kejawen) itu dibangun oleh kaum priyayi, namun dalam perkembangannya banyak juga wong cilik (rakyat biasa) yang mengikuti paguyuban tersebut.

3. Produk Budaya Abangan, Santri dan Priyayi
• Produk Abangan
1) Babaran
   Menjelang kelahiran, sebagian orang mengadakan slametan kecil hanya dengan anggota keluarganya saja, yang hidangannya terdiri atas sepiring jenang dengan pisang yang telah di kupas di tengahnya untuk melambangkan kelahiran yang lancar. Akan tetapi, slametan seperti ini lebih sering ditinggalkan, bahkan oleh orang abangan yang cukup ketat.
2) Pasaran
   Lima hari sesudah selamatan pertama untuk bayi di selengarakan pula sebuah selmatan yang agak lebh besar yaitu pasaran, dimana bayi itu diberi nama. Secara teoritis, anak itulah yang memegang keputusan terakhir dalam penamaan anaknya dan biasanya ia mengumumkanny dalam sambutan pada upacara selamatan.
   Penentuan waktu pasaran tergantung pada terlepasnya sisa tali pusar si anak. Banyak praktis-praktis magis yang secara tradisional dihubungkan dengan pasaran, masih dilakukan hingga sekarang. Sehelai benang, lagi-lagi di pintal dengan cara tradisional, di rentankan di sekeliling rumah persis di bawah atap untung mengusir makhluk jahat.
3) Upacara khitanan
   Khitanan merupakan upacara menyambut masa remaja pada orang jawa pada laki-laki. Kebanyakan anak lelaki di jawa sunat pada usia 10 – 15 tahun. Upacara ini memberikan kesempatan utama untuk pengluaran yang berlebih-lebihan dalam kehidupan orag jawa.
   Hiburan sewaan yang meriah wayang kulit dengan seperangkat alat gamelan, orkes model barat atau robongan tari. Menurut kebiasaan, penyunatan dilakukan oleh seorang ahli yang disebut calak (boong) yang sering kali merangkap sebagai tukang cukur atau dukun .
• Produk Santri
1) Sorongan
   Sorongan merupakan metode yang ditempuh dengan cara ustadz menyampaikan pelajaran kepada santri secara individual. Sasaran metode ini biasanya kelompok santri pada tingkat rendah yaitu mereka yang baru menguasai pembacaan Alquran. Melalui sorongan pengembangan intelektual santri dapat ditangkap oleh kyai secara utuh. Beliau dapat memberikan bimbingan secara penuh sehingga dapat memberikan tekanan pengajaran terhadap santri-santri tertentu atas dasar observasi langsung terhadap tingkat kemampuan dasar dan kapasitas mereka. Kelemahan penerapan metode ini menuntut pengajar untuk bersikap sabar dan ulet, selain itu membutuhkan waktu yang lama yang berarti pemborosan, kurang efektif dan efisien. Kelebihannya yaitu secara sigmifikan ustadz mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan santri dalam menguasai materi yang diajarkan.
2) Wetonan
   Wetonan atau disebut juga metode bandungan adalah metode pengajaran dengan cara ustadz atau kyai membaca, menerjemahkan, menerangkan dan mengulas kitab atau buku-buku keislaman dalam bahasa arab, sedangkan santri mendengarkannya.
   Mereka memperhatikan kitab atau bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan tentang kata-kata yang diutarakan oleh ustadz atau kyai. Kelemahan dari metode ini yaitu mengakibatkan santri bersifat pasif. Sebab kreatifitas santri dalam proses belajar mengajar didominasi oleh ustadz, sementara santri hanya mendengar dan memperhatikan. Kelebihan dari metode ini yaitu terletak pada pencapaian kuantitas dari pencapaian kajian kitab, selain itu juga bertujuan untuk mendekatkan relasi antara santri dengan kyai atau ustadz.
3) Ceramah
   Ceramah ini merupakan hasil pergeseran dari sorongan dan wetonan. Said dan Affan melaporkan bahwa wetonan dan sorongan yang semula menjadi ciri khas pesantren, pada beberapa pesantren telah diganti dengan metode ceramah sebagai metode pengajaran yang pokok dengan sistem klasik. Namun pada beberapa pesantren lainnya masih menggunakan metode sorongan dan wetonan untuk pelajaran agama, sedangkan untuk pelajaran umum menggunakan metode ceramah. (Said dan Affan: 98).
   Kelemahan dari metode ini justru mengakibatkan santri menjadi lebih pasif, sedangkan kelebihannya yaitu mampu menjangkau santri dalam jumlah banyak, bisa diterapkan pada peserta didik yang memiliki kemampuan heterogen dan pengajar mampu menyampaikan materi yang relatif banyak.
4) Muhawarah
   Muhawarah adalah metode yang melakukan kegiatan bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa arab yang diwajibkan pesantren kepada para santri selama mereka tinggal di pondok (Arifin:39). Sedangkan pesantren hanya mewajibkan pada saat tertentu yang berkaitan dengan kegiatan lain. Namun, sebagian pesantren yang lain ada yang mewajibkan para santrinya menggunakannya setiap hari.
   Kelebihan metode ini yaitu dapat membentuk lingkungan yang komunikatif antara santri yang menggunakan bahasa arab dan secara kebetulan dapat menambah pembendaharaan kata tanpa hafalan. Pesantren yang menggunakan metode ini secara intensif selalu berhasil mengembangkan pemahaman bahasa.
• Produk Priyayi
1) Kirab budaya
   Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kirab berarti perjalanan bersama-sama atau beriringan-iringan secara teratur dan berurutan, dari depan ke belakang pada suatu rangkaian upacara (adat, keagamaan, dsb) atau dapat juga disebut dengan pawai. Sedangkan, Budaya berarti pikiran; budi pekerti; adat istiadat; yang sudah berkembang dan sesuatu yang sukar untuk diubah. Jadi, kirab budaya bisa diartikan sebagai pawai yang diadakan untuk memperkenalkan budaya-budaya yang ada di Indonesia.
   Kirab budaya selalu diselengarakan di kota-kota besar di Indonesia, termasuk ibukota Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain sebagai pengenalan budaya-budaya yang ada di Indonesia, kirab budaya dapat membentuk karakter masyarakat agar mempunyai potensi seni dan kreativitas dalam mempertahankan sejarah maupun budayanya.
   Tetapi, haruslah diakui, kirab budaya lebih dekat dengan masyarak]]at Yogyakarta. Lantaran istilah ini tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia. Dalam hal ini pula, kirab budaya kerap dimanifestasikan sebagai filsafat Yogyakarta: sengguh ora mingkuh.
   Masyarakat Indonesia sendiri sangat entusias untuk menyemarakkan kirab budaya ini. Tidak hanya dari kalangan wisatawan lokal tetapi juga ada wisatawan asing yang datang hanya untuk menyemarakkan kirab budaya ini. Kirab budaya juga dapat menarik para wisatawan untuk berkunjung dan melihat budaya suatu wilayah tersebut. Selain itu juga untuk memamerkan budaya-budaya Indonesia agar dikenal di kalangan anak-anak hingga orang dewasa.

PENUTUP


Kesimpulan
   Kehadiran Islam di tanah Jawa membuahkan di tanah Jawa membuahkan dua kelompok atas dasar keagamaannya, meskipun keduanya secara nominal termasuk agama Islam (Magniz Suseno, 1993:13). Golongan pertama dalam kesadaran dan cara hidupnya lebih ditentukan oleh tradisi-tradisi Jawa pra-Islam dan berusaha untuk hidup menurut ajaran Islam, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan santri. Sedangkan golongan kedua adalah abangan atau Jawa Kejawen yang diwakili oleh kaum priyayi tradisional, meskipun mereka secara resmi mengakui Islam sebagai agamanya. Abangan, Santri dan Abangan memiliki banyak produk budaya :
• Santri : Sorongan, Wetonan, Ceramah, Muhawarah
• Abangan : Babaran, Pasaran, Upacara Khitnan
• Priyayi : Kirab Budaya

DAFTAR PUSTAKA


1. Khalim Samidi, Islam & Spiritualitas Jawa RaSAIL Media Group, Semarang 2008.
2. Syam Nur, Islam Pesisir PT LKIS Pelangi Aksara Yogyakarta 2005
3. Pranowo M. Bambang, Memahami Islam Jawa, Pustaka Alvabet, Jakarta 2011.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MAKALAH
Pemikiran Kalam Golongan Khawarij
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sejarah Pemikiran Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Drs. Muhammad Nashuha, M.SI


Oleh :

SitiAyuFebriani (1604016050)
AinunNafisah (1604016051)
EvaeMaelawati (1604016052)



FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017


PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
   Perkembangan pemikiran dalam Islam tidak terlepas dari perkembangan sosial dalam kalangan Islam itu sendiri. Memang, Pembahasan pokok dalam Agama Islam adalah aqidah, namun dalam kenyataanya masalah pertama yang muncul di kalangan umat Islam bukanlah masalah teologi, melainkan persolaan di bidang politik. Hal ini di dasari dengan fakta sejarah yang menunjukkan bahwa, titik awal munculnya persolan pertama ini di tandai dengan lahirnya kelompok-kelompok dari kaum muslimin yang telah terpecah yang kesemuanya itu di awali dengan persoalan politik yang kemudian memunculkan kelompok-kelompok dengan berbagai Aliran teologi dan berbagai pendapat-pendapat yang berbeda-beda.
   Dalam sejarah agama Islam telah tercatat adanya firqah-firqah (golongan) di lingkungan umat Islam, yang antara satu sama lain bertentangan pahamnya secara tajam yang sulit untuk diperdamaikan, apalagi untuk dipersatukan.
   Hal ini sudah menjadi fakta dalam sejarah yang tidak bisa dirubah lagi, dan sudah menjadi ilmu pengetahuan yang termaktub dalam kitab-kitab agama, terutama dalam kitab-kitab ushuluddin.
   Barang siapa yang membaca kitab-kitab ushuluddin akan menjumpai didalamnya perkataan-perkataan: Syiah, Khawarij, Qodariah, Jabariah, Sunny (Ahlussunnah Wal Jamaaah), Asy-Ariah, Maturidiah, dan lain-lain.
   Umat Islam, khususnya yang berpengetahuan agama tidak heran melihat membaca hal ini karena Nabi Muhammad SAW sudah juga mengabarkan pada masa hidup beliau.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian golongan Khawarij?
2. Bagaimana sejarah berdirinya golongan Khawarij?
3. Bagaimana pemikiran golongan Khawarij beserta tokohnya?
C. Tujuan Permasalahan
1. Mengetahui pengertian golongan Khawarij
2. Mengetahui bagaimana sejarah berdirinya golongan Khawarij
3. Mengetahui pemikiran golongan Khawarij beserta tokohnya

PEMBAHASAN


I. Pengertian Khawarij
   Kata khawarij menurut bahasa merupakan jamak dari خرجي secara harfiah berarti orang-orang yang keluar, mengungsi atau mengasingkan diri. Istilah ini bersifat umum yang mencakup semua aliran dalam Islam yang memisahkan diri atau keluar dari jamaah ummat, sebagaimana yang dijelaskan oleh Asy-Syahrastani “ Tiap yang memberontak kepada imam yang benar yang disepakati oleh jamaah dinamakan khawarij ”.
   Jadi khawarij adalah firqah bathil yang keluar dari dinul Islam dan pemimpin kaum muslimin. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Fatawa, ‘Bidah yang pertama muncul dalam Islam adalah bidah khawarij.
   Secara Historis khawarij merupakan “orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib, lalu menolaknya. Namun pada perkembangan selanjutnya mereka juga adalah kelompok yang tidak mengakui kepemimpinan Muawiyah.

II. Sejarah berdirinya kelompok Khawarij
   Kelompok Khawarij lahir sebagai aksi demonstratif atas kebijaksanaan Ali dan Muawiyah menunjuk perwakilan dalam komporomi untuk mengahiri perang Shiffin. Peristiwa tersebut dikenal dengan Tahkim (arbitrase).
   Kaum Khawarij pada mulanya dikenal sebagai pengikut Ali bin Abi Thalib, namun karena peristiwa tersebut sehingga mereka meninggalkan Ali. Karena mereka menganggap Ali telah mendurhakai Allah dengan mengangkat hakim/ wali selain Allah. Bahkan lebih jauh mereka mengkafirkan Ali dan seluruh yang tunduk pada tahkim tersebut.
   Selanjutnya golongan ini dikenal sangat ekstrim dan radikal terhadap pendapat yang berbeda dengannya. Bahkan secara Ekstrim, mereka melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan yang menurutnya zalim. Sehingga dalam rentang waktu yang cukup lama kaum ini banyak membuat keonaran.
   Kalau ditelusuri ke belakang, maka dapat diketahui bahwa embirio dari seluruh komplik tersebut berawal dari peristiwa pembunuhan Usman. Mencermati peristiwa tersebut, ummat Islam terbagi tiga, satu golongan menghendaki untuk menyelesaikan pembunuhan tersebut sebelum mengangkat khalifah, sementara golongan kedua menghenadaki secepatnya diadakan pengangkatan khalifah, golongan ketiga adalah golongan yang netral.
   Golongan yang menghendaki segera diangkat khalifah adalah mereka yang menganggap bahwa yang paling berhak menjadi khalifah setelah Usman bin affan adalah Ali. Golongan ini pada mulanya mendapat dukungan kuat dari seluruh umat Islam. Sementara kelompok kedua berdalih bahwa persoalan kekhalifahan adalah masalah yang tidak terlalu mendesak, sementara yang perlu diproritaskan adalah pengusutan kasus pembunuhan Usman, bahkan kelompok ini mensinyalir kalau Ali ada di balik pembunuhan Usman dengan menggunakan tangan-tangan lain.
   Konflik kelompok pertama dan kedua semakin melebar bahkan berakhir dengan pertempuran antara sesama muslim. Peperangan Shiffin yang diakhiri dengan tahkim sebagai cikal bakal lahirnya kelompok Khawarij. Kelompok ini berasumsi bahwa tindakan politik tersebut telah menabrak aturan agama. Sebab hal tersebut tidak ditemukan dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad. Akibatnya mereka berontak kepada Ali dan bahkan memusuhinya sepanjang Ali tidak membatalkan kesepakatannya tersebut.
   Atas dasar ini, kemudian golongan yang semula mendukung Ali ini selanjutnya berbalik menentang dan memusuhi Ali beserta tiga orang tokoh pelaku tahkim lainnya yaitu Abu Musa Al-Asyari, Mu’awiyah bin Abi Sofyan dan Amr Bin Ash.Untuk itu mereka berusaha keras agar dapat membunuh ke empat tokoh ini , dan menurut fakta sejarah, hanya Ali yang berhasil terbunuh oleh Abdurrahman bin muljam, sebagai salah seorang utusan khawarij. Kaum khawarij kadang-kadang menamakan golongan mereka dengan kaum syurah artinya kaum yang mengorbankan dirinya untuk kepentingan dan keredhaan Allah.

III. Tokoh dan pemikiran kelompok Khawarij
a. Tokoh-tokoh Kelompok Khawarij
   Berdasarkan catatan sejarah, gerakan kelompok khawarij ini terpecah menjadi dua cabang besar yaitu :
1. Kelompok Khawarij yang bermarkas di wilyah Bathaih, yaitu kelompok yang mengusai dan mengawasi kaum khawarij yang berada di Persia dan disekeliling Irak. Cabang ini dipimpin oleh Nafi’ bin azraq dan Qatar bin Faja’ah
2. Kelompok Khawarij yang bermarkas di Arab Daratan, yaitu kelompok yang mengusai dan mengawasi kaum khawarij yang berada di Yaman, Hadhramaut dan Thaif, Cabang ini dipimpin oleh Abu Thaluf, Najdah bin ‘Ami dan Abu Fudaika
   Dari dua kelompok besar , kelompok khawarij terbagi dalam Sekte-sekte dan ajaran pokok Khawarij.Terpecahnya Khawarij ini menjadi beberapa sekte, mengawali dan mempercepat kehancurannya dan sehingga Aliran ini hanya tinggal dalam catatan sejarah. Sekte-Sekte tersebut antara lain adalah :
1. Al-Muhakkimah
   Golongan Khawarij asli dan terdiri dari pengikut-pengikut Ali, disebut golongan Al-Muhakkimah. Bagi mereka Ali, Mu’awiyah, kedua pengantara Amr Ibn Al-As dan Abu Musa Al-Asy’ari dan semua orang yang menyetujui paham bersalah itu dan menjadi kafir.
2. Al-Azariqah
   Golongan yang dapat menyusun barisan baru dan besar lagi kuat sesudah golongan Al-Muhakkimah hancur adalah golongan Al-Azariqah. Daerah kekuasaan mereka terletak diperbatasan Irak dengan Iran. Nama ini diambil dari Nafi’ Ibn Al-Azraq.Khalifah pertama yang mereka pilih ialah Nafi’ sendiri dan kepadanya mereka beri gelar Amir Al-Mu’minin. Nafi’ meninggal dalam pertempuran di Irak pada tahun 686 M. mereka menyetujui paham bersalah itu dan menjadi musyrik
3. Al-Nadjat
   Najdah bin Ibn ‘Amir Al-Hanafi dari Yamamah dengan pengikut-pengikutnya pada mulanya ingin menggabungkan diri dengan golongan Al-Azariqah. Tetapi dalam golongan yang tersebut akhir ini timbul perpecahan. Sebagian dari pengikut-pengikut Nafi’ Ibn Al-Azraq, diantaranya Abu Fudaik, Rasyid Al-Tawil dan Atiah Al-Hanafi, tidak menyetujui paham bahwa orang Azraqi yang tidak mau berhijrah kedalam lingkungan Al-Azariqah adalah musyrik. Akan tetapi mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar yang menjadi kafir dan kekal dalam neraka hanyalah orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka. Adapun pengikutnya jika mengerjakan dosa besar, benar akan mendapatkan siksaan, tetapi bukan dalam neraka, dan kemudian akan masuk surga.
4. Al-Ajaridah
   Mereka adalah pengikut dari Abd Al-Karim Ibn Ajrad yang menurut Al-Syahrastani merupakan salah satu teman dari Atiah Al-Hanafi. Menurut paham mereka berhijrah bukanlah merupakan kewajiban sebagai diajarkan oleh Nafi’ Ibn Al-Azraq dan Najdah, tetapi hanya merupakan kebajikan. Kaum Ajaridah boleh tinggal diluar daerah kekuasaan mereka dengan tidak dianggap menjadi kafir. Harta boleh dijadikan rampasan perang hanyalah harta orang yang telah mati.
5. Al-Sufriah
   Pemimpin golongan ini ialah Ziad Ibn Al-Asfar. Dalam paham mereka dekat sama dengan golongan Al-Azariqah.
6. Al-Ibadiyah
Golongan ini merupakan golongan yang paling beda dari seluruh golongan Khawarij. Namanya diambil dari Abdullah Ibn Ibad yang pada tahun 686 M. memisahkan diri dari golongan Al-Azariqah

b. Pemikiran Kelompok Khawarij
   Secara umum hasil pemikiran dari kelompok Khawarij adalah:
1. Persoalan Khalifah
a. Kelompok khawarij mengakui khalifah-khalifah Abu Bakar, Umar dan separo zaman dari khalifah Ustman bin Affan. Pengangkaatan ketiga khlalifah tersebut sah sebab telah dilaksanakan dengan Syura yaitu musyawarah ahlul halli wal aqdi. Akan tetapi diakhir masa kekhakifahan Usman bin Affan tidak diakui oleh mereka, karena khalifah telah melakukan penyelewengan dalam menetapkan pejabat-pejabat negara.
b. Khalifah Ali bin Abi Thalib, awalnya pengangkatan sebagai khalifah diakui oleh kelompok khawarij, namun kemudian khalifah melakukan dosa besar dengan menerima tahkim, maka mereka pun tidak mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah dan menghukumnya kafir
c. Khalifah harus dipilih langsung oleh rakyat.
d. Khalifah tidak harus keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi Khalifah apabila suda memenuhi syarat-syarat.
e. Khalifah di pilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at islam, dan di jatuhi hukuman bunuh bila zhalim.
2. Persoalan Fatwa Kafir
a. Orang Islam yang melakukan Dosa besar adalah kafir,karena itu halal darahnya, halal hartanya, halal anak istrinya dan kampung halamnya adalah Darul Harb.
b. Orang-orang yang terlibat dalam perang jamal (perang antara Aisyah, Talhah, dan zubair, dengan Ali bin abi tahAlib) dan para pelaku tahkim termasuk yang menerima dan mambenarkannya di hukum kafir.
3. Persoalan Iman dan Ibadah
Kaum khawarij berpendapat bahwa yang dikatan “iman itu bukanlah pengakuan dalam hati dan ucapan dengan lisan saja, tetapi amal ibadat menjadi rukun iman pula” Barang siapa yang tidak mengerjakan sembahyang, puasa, zakat dan lain-lain, maka orang tersebut telah menjadi kafir.
4. Persoalan Dosa
Bagi kaum khawarij semua dosa adalah besar, jadi mereka tidak mengenal perbedaan antara dosa besar dan dosa kecil. “sekalian pendurhakaan pada Tuhan (dosa) besar”

KESIMPULAN

   Pemikiran politik dan teologi serta sikap ekstrim Khawarijj lahir terutama disebebkan oleh latar belakang sosiokutular mereka sebagai orang-orang Arab Badui yang punya watak luas, kasar dan berani sehingga mereka tidak gentar mati walaupun untuk hal-hal yang tidak perlu. Dari sejarah Khawarijj itu kita dapat mengambil pelajaran bahwa persoalan-persoalan social politik kalau dibungkus dengan agama bisa mendatangkan bahaya yang lebih besar, apalagi kalau yang dilakukan oleh orang-orang yang pemahaman dan penguasaanya ajaran islam sangat terbatas bahkan sangat sempit. Wawasan yang sangat sempit dan tertutup dapat melahirkan ekstrimitas tidak hanya pemikiran saja tapi juga sikap dan tindakan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MAKALAH
Pemikiran Kalam Golongan Syi’ah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sejarah Pemikiran Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Drs. Muhammad Nashuha, M.SI


Oleh :

Syaifullah Aji T. (1604016053)
Muhammad Azmil M. (1604016054)
Yusuf Rohhmadi (1604016055)



FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017


Pendahuluan


A.Latar Belakang
   Amat beragam uraian para pakar, baik Muslim maupun non-Muslim, tentang asal usul paham Syiah dan masa pembentukannya. Berangkat dari situ, pula muncul beragam penafsiran terkait persoalan-persoalan prinsip-prinsip dasar yang berkenaan dengan Akidah. Disatu sisi, boleh jadi penafsiran tersebut diterima oleh kelompoknya, dan disisi lain ditolak oleh kelompak yang lain.
   Apa pun sikap terhadapnya, semua umat Islam pada hakikatnya mengakui bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kedamaian. Karena itu, sangat wajar memahami pandangan sementara pakar yang membedakan antara ajaran murni dan penerapannya, yang bisa saja sewaktu-waktu dan dalam kondisi tertentu serta batas-batas tertentu menghasilkan kebijakan yang tidak sepenuhnya sejalan dengan ajaran murni.
   Para ulama sepakat bahwa siapa memunyai pandangan yang berbeda dengan kelompok umat Islam yang lain, tidaklah serta merta dinilai sesat atau menyesatkan. Menetapkan bahwa menilai seseorang sesat atau kafir haruslah berdasaar bukti-bukti yang jelas dari pandangannya yang bertentangan dengan akidah Islam.
   Maka dalam uraian makalah yang terbatas ini, kami mencoba menelusuri dan membahas beberapa hal terkait tema Pemikiran Kalam Golongan Syi’ah. Bertolak dari ciri yang menonjol, bahwa golongan Syiah adalah mengacu pada mereka yang memercayai dua belas orang Imam secara turun-temurun. Imam-imam itu bermula dari Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra. sampai dengan Imam yang digelari dengan Imam Mahdi. Lebih lanjut akan diuraikan, beberapa hal lain sekilas sejarah asal-usul, dan pandangan-pandangan Syiah yang berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar agama atau akidah.
B.Rumusan Masalah
1.Apakah pengertian Syiah ?
2.Bagaimana sejarah kemunculan dan apa saja golongan dari Syiah ?
3.Bagaimana pandangan Syiah tentang Rukun Iman dan Islam ?

Pembahasan


A.Pengertian
   Kelompok Syiah dapat menamai diri mereka sebagai Ahlussunnah, dalam pengertian bahwa mereka juga mengikuti tuntutan Sunnah Nabi, dan memang semua kaum Muslim harus mengakui dan mengikuti Sunnah Nabi Muhammad saw., karena tanpa mengikutinya, seorang tidak dapat menjalankan secara baik dan benar ajaran Islam.
   Kata Syiah secara etimologi (kebahasan) berarti pengikut, pendukung, pembela, pecinta, yang kesemuanya mengarah kepada makna dukungan kepada ide atau individu dan kelompok tertentu.
   Muhammad Jawad Maghiniyah, seorang ulama beraliran Syiah, memberikan definisi tentang kelompok Syiah, bahwa mereka adalah “kelompok yang meyakini bahwa Nabi Muhammad saw. telah menetapkan dengan nash (pernyataan yang pasti) tentang Khalifah (pengganti) Beliau dengan menunjuk Imam Ali.” Definisi ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Ali Muhammad al-Jurjani (1339-1413 M), seorang sunni penganut aliran Asy’ariyah, menurutnya: “Syiah adalah mereka yang mengikuti Sayyidina Ali ra. dan percaya bahwa beliau adalah Imam sesudah Rasul saw. dan percaya bahwa imamah tidak keluar dari beliau dan keturunannya.” Definisi ini kendati hanya mencerminkan sebagian dari golongan Syiah, namun untuk sementara dapat diterima karena kandungannya telah menunjuk kepada Syiah yang terbanyak dewasa ini, yakni Syiah Itsna ‘Asyariyah. B.Asal-usul dan Golongan-golongan Syiah
1.Asal-usul
   Sepintas ada yang berpendapat bahwa paham Syiah ini bersumber dari pemikiran Persia, bahkan juga ada pendapat yang menyatakan bahwa paham tersebut bersumber dari upaya orang-orang Yahudi untuk menyimpangkan ajaran Islam.
   Seperti diketahui bahwa Imamah, yang merupakan salah satu akidah pokok kaum Syiah, mereka yakini sebagai anugrah Ilahi (serupa kenabian) yang tidak dapat diperoleh melalui upaya manusia. Imamah itu silih berganti hingga mencapai dua belas orang secara turun temurun dimulai dari Sayyidina Ali sampai dengan imam kedua belas, yakni Muhammad al-Mahdi. Dari sini ada yang menyebut Syiah berumber dari Persia, dengan dalih bahwa keyakinan tentang adanya peranan Tuhan dalam kepemimpinan serta turun temurun-nya kekuasaan, tidak dikenal dalam masyarakat Arab, tetapi sangat diakui oleh masyarakat Persia.
   Sementara orang yang menyatakan bahwa Syiah adalah produk Yahudi yang bertujuan menyimpangkan ajaran Islam, menunjuk Abdullah bin Saba’ sebagai aktor intelektual dari paham ini.
   Dikisahkan Abdullah bin Saba’ muncul pada akhir periode pemerintahan Utsman bin ‘Affan ra. Ia adalah seorang Yahudi yang dilukiskan sebagai orang yang memiliki aktivitas menyamar sebagai seseorang yang hidup sangat sederhana, dan meraih kekaguman banyak sahabat Nabi saw. namun tujuannya adalah memecah belah umat. Dia berhasil menghasut masyarakat sehingga terjadi pemberontakan terhadap Khalifah ketiga yang kemudian terbunuh. Dia pulalah yang menciptakan ide-ide ketika berada di Kufah, yang intinya mengagung-agungkan Sayyidina Ali misalnya dengan menyatakan bahwa semestinya Ali-lah yang menjadi Nabi, bukan Muhammad. Lalu Ibnu Saba’ berhasil mengelabui orang-orang awam, yang memang secara umum sangat kagum kepada Sayyidina Ali.
   Namun banyak pakar baik Sunnah, lebih-lebih Syiah, yang menolak bukan saja peranan Abdullah bin Saba’ yang demikian besar, tetapi wujud pribadinya dalam kenyataan pun mereka sangsikan. Tidak sedikit pakar menilai bahwa pribadi Abdullah bin Saba’ sama sekali tidak pernah ada. Ia adalah tokoh fiktif yang diciptakan para anti-Syiah. Thaha Husain seorang ilmuwan kenamaan Mesir, menegaskan ketiadaan Ibnu Saba’ dan bahwa ia adalah hasil rekayasa musuh-musuh Syiah.
   Penganut aliran Syiah dan juga sekian pakar dari Ahlisunnah berpendapat bahwa benih Syiah muncul sejak masa Nabi Muhammad saw., atau paling tidak secara politis benihnya muncul saat wafatnya Nabi saw. (pembaiatan Sayyidina Abubakar di Tsaqifah). Ketika itu keluarga Nabi saw. dan sejumlah sahabat memandang bahwa Sayyidina Ali bin Thalib ra. lebih wajar dan lebih berhak menjadi khalifah ketimbang Sayyidina Abubakar ra. Sebab, hubungan yang demikian erat antara Nabi saw. dengan Sayyidina Ali ra. telah terjalin sebelum Islam, demikian Sayyidina Ali ra. adalah lelaki pertama yang memeluk Islam yang kemudian menjadi menantu Rasul, menikahkannya dengan anak perempuan yang paling beliau cintai, yakni Fatimah az-Zahra. Akhlak dan kepribadian beliau pun sedemikian menonjol.
   Syaikh Abdulhalim Mahmud, seorang mantan pemimpin al-Azhar yang sunni lagi sufi, lebih lanjut menulis bahwa: “Syiah pada mulanya merupakan rasa cinta dan kagum, lalu berkembang dan beralih menjadi cinta, kasih, serta kasihan ketika sementara orang berkeyakinan bahwa al-Bait al-Alawy (keluarga Ali) tidak menduduki tempatnya yang wajar dalam masyarakat. Selanjutnya ketika terjadi penganiayaan berupa penyiksaan, pengusiran, pemotongan anggota tubuh, pencungkilan mata, dan pembunuhan (terhadap keluarga Ali dan simpatisannya), maka lahirlah kelompok Syiah dalam pengertian istilah. Keluarga Ali pun dan simpatisannya menyuburkan ide tersebut dan menopangnya sekuat kemampuan mereka dengan harta dan dorongan moral. Akan tetapi, ide (apa pun) saat itu tidak dapat berkembang dengan mengandalkan harta dan dukungan saja, tetapi juga menuntut secara pasti sandaran agama. Di sini Syiah merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah untuk meraih sandaran tersebut, dan itu mereka peroleh dengan mudah atau dengan cara memaksakan (penafsiran atau membuat riwayat) dalam rangka mendukung ide atau kepercayaan mereka. Akibatnya, Syiah menjadi sekian banyak kelompok. Tidak sedikit di antara mereka yang melampaui batas dan bersikap ekstrem dalam cintanya kepada Ali ra. Dan cinta memang membutakan dan menulikan.” Demikian terlihat bahwa benih Syiah bukan bersumber dari ajaran Yahudi, tidak juga dari benih pandangan Persia, tetapi Syiah tumbuh dan berkembang secara normal.
2.Golongan Syiah
   Secara umum hanya dua kelompok Syiah yang dapat dimasukkan ke dalam golongan umat Islam, yaitu kelompok az-Zaidiyah dan al-Imamiyah. Demikian menurut al-Baghdadi.
   Terdapat kelompok Syiah yang keluar dari ajaran Islam namun kini telah punah dan tidak ada lagi pengikutnya. Secara umum mereka dinamai Ghulat (kelompok Ekstrem). Kelompok Syiah yang masih bertahan sampai saat ini adalah al-Imamiyah yang dinamai juga al-Itsna ‘Asyariyah. Mereka tersebar di Iran, Irak, juga sebagian penduduk Afganistan, Suriah, Pakistan, dan beberapa negeri lain; dan az-Zaidiyah yang sampai sekarang masih banyak bermukim di Yaman.
Berikut gambaran singkat menyangkut golongan-golongan Syiah tersebut:
1.Syiah Ghulat
Syiah kelompok ini adalah Syiah kelompok ekstrem yang hampir dapat dikatakan telah punah. Mereka diantaranya:
a. As-Sabaiyah
Mereka adalah pengikut-pengikut Abdullah bin Saba’ yang konon pernah berkata kepada Sayyidina Ali: “Engkau adalah Tuhan”. Dia juga menyatakan bahwa Sayyidina Ali ra. memiliki tetesan ketuhanan. Dia menjelma melalui awan. Guntur adalah suaranya, kilat adalah senyumnya. Dia kelak akan turun kembali ke bumi untuk menegakkan keadilan sempurna.
b. Al-Ghurabiyah
Kelompok ini percaya bahwa sebenarnya Allah mengutus malaikat Jibril as. Kepada Ali bin Abi Thalib ra., tetapi malaikat itu keliru atau bahkan berkhianat sehingga menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad. Karena itu, mereka mengutuk malaikat Jibril as. sambil berkata: “Yang dipercaya telah berkhianat.” Almarhum Ali Syariati, seorang pemikir Syiah kontemporer, berkomentar: “Jika Jibril memang salah dalam menyampaikan wahyu yang pertama kali, mengapa ia mengulangi kesalahannya selama dua puluh tiga tahun, dan mengapa Allah tidak memecatnya dari tugasnya sebagai penyampai wahyu ?”
2.Az-Zaidiyah
   Adalah kelompok Syiah pengikut Zaid bin Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib ra. Beliau lahir pada tahun 80 H dan terbunuh pada tahun 122 H. Beliau dikenal sebagai seorang yang sangat taat beribadah, berpengetahuan luas sekaligus revolusioner. Sementara pengikut Syiah memilih untuk tidak terlibat sama sekali dalam pergolakan politik, berdiam diri, melakukan taqiyah terhadap penguasa yang zalim demi memelihara diri sambil berdakwah dengan keteladanan yang baik. Sikap inilah yang dianut oleh Imam Ali Zainal Abidin, satu-satunya anak Sayyidinq al-Husain, yang selamat dari pembantaian di al-Harrah Karbala. Sikap Imam Ali Zainal Abidin ini serupa dengan sikap paman beliau, Sayyidina al-Hasan, putra Ali bin Abi Thalib, yang mengakui kekuasaan Muawiyah demi kedamaian dan memelihara kesatuan umat Islam. Sikap inilah yang dilanjutkan oleh Imam Ja’far ash-Shadiq, putra Muhammad al-Baqir, dan berlanjut hingga iman-iman Syiah Itsna ‘Asyariyah selanjutnya. Sedang sikap kedua, yakni tampil melakukan perlawanan dianut oleh Imam Zaid, putra Imam Ali Zainal Abidin sekaligus saudara Imam Ja’far ash-Shadiq, dan yang kemudian melahirkan Syiah Zaidiyah. Sikap Zaid yang berbeda dengan sikap ayah dan saudaranya ini diambil setelah melihat dalam kenyataan bahwa walaupun mereka sudah tidak aktif berpolitik, namun penganiayaan dan penghinaan terhadap mereka tetap saja berlanjut.
   Syiah Zaidiyah menetapkan bahwa imamah dapat diemban oleh siapa pun yang memiliki garis keturunan sampai dengan Fatimah, putri Rasul saw., baik dari keturunan putra, al-Hasan bin Ali, maupun al-Husain, dan selama yang bersangkutan memiliki kemampuan keilmuan tinggi, adil, dan berani mengangkat senjata melawan kezaliman.
   Walaupun Syiah Zaidiyah tetap memandang Sayyidina Ali ra. lebih mulia dari sahabat-sahabat Nabi saw. yang lain, namun mereka pun masih mengakui sahabat-sahabat Nabi itu sebagai khalifah-khalifah yang sah. Karena itulah dan karena keengganan mereka mempersalahkan para sahabat Nabi, apalagi mencaci dan mengutuk mereka, maka pengikut-pengikut Imam Zaid dinamai ar-Rafidhah, yakni penolak (untuk) menyalahkan dan mencaci. Mereka tidak seperti Syiah yang lain, Syiah Zaidiyah menolak menggunakan taqiyah, tidak juga menyatakan bahwa para imam mengetahui ghaib dan tidak juga menetapkan ishmah (keterpeliharaan dari doasa dan kesalahan) bagi para imam. Mereka tidak mengakui adanya ilmu khusus dari Allah kepada imam-imam, sebagaimana mereka tidak mengakui Raj’ah, yakni kembalinya hidup orang-orang tertentu ke pentas bumi ini dan dengan demikian mereka tidak mengakui adanya seseorang tertentu yang dinamai Imam Mahdi. Siapa pun yang adil, berpengetahuan, berani dan tampil mengangkat senjata melawan kezaliman maka ia adalah al-Mahdi.
3.Syiah Itsna ‘Asyariah
   Syiah Isna Asyariyah, bisa juga dikenal dengan nama Imamiyah atau Ja’fariyah, adalah kelompok Syiah yang memercayai adanya dua belas imam yang kesemuanya dari keturunan Sayyidina Ali ra. dan Fatimah az-Zahra. Kelompok ini merupakan mayoritas penduduk Iran, Irak, serta ditemukan juga di beberapa daerah di Suriah, Kuwait, Bahrain, India, juga Saudi Arabia, dan beberapa daerah bekas Uni Soviyet. Oleh karena kelompok ini merupakan mayoritas dari kelompok Syiah, maka ketika berbicara Syiah secara umum pendapat-pendapat merekalah yang seharusnya diketengahkan. Betolak dari sini, pandangan-pandangan terkait akidah Syiah, termasuk Rukun Iman dan Islam akan dibahas pada bagian selanjutnya.
C.Pandangan Rukun Iman dan Islam Golongan Syiah    Menurut Syaikh Muhammad Husain al-Kasyif al-Ghitha seorang ulama besar Syiah (1874-1933 H), berpendapat bahwa agama pada dasarnya adalah keyakinan dan amal perbuatan yang berkisar pada:
1) Pengetahuan/keyakinan tentang Tuhan
2) Pengetahuan/keyakinan tentang yang menyampaikan dari Tuhan.
3) Pengetahuan tentang peribadatan dan tata cara pengamalanya.
4) Melaksanakan kebijakan dan menampik keburukan (Budi Pekerti)
5) Kepercayaan tentang hari kiamat dengan segala rinciannya.
   Selanjutnya ia juga berpendapat bahwa: “Islam dan Iman adalah sinonim, yang keduannya secara umum bertumpu pada tiga rukun yaitu: Tauhid (Keesaan Tuhan), Kenabian, dan Hari kemudian. Jika seseorang mengingkari salah satu daru ketiganya, maka dia bukanlah seorang Mukmin, bukan juga seorang Muslim, tetapi apabila ia percaya tentang keesaan Allah, kenabian penghulu para nabi, yakni Nabi Muhammad saw., serta percaya tentang hari pembalasan (kiamat), maka ia adalah seorang Muslim yang benar. Dia memunyai hak-hak sebagaimana kewajiban Muslim-Muslim yang lain. Darah, harta, dan kehormatannya haram diganggu. Kedua kata itu juga (Iman dan Islam) memiliki pengertian khusus, yaitu ketiga rukun tersebut ditambah dengan rukun keempat yang terdiri dari tonggak-tonggak, yang atas dasarnya Islam dibina, yaitu shalat, puasa, zakat, haji, dan ijtihad.”
   Dalam hal keimanan, Syiah Itsna ‘Asyariah tidak menyebut butir-butir kepercayaan pada Malaikat, Kitab-kitab, dan para Rasul secara eksplisit. Mereka, ketika menyebut salah satu dari rukun Iman adalah: “Pengetahuan/keyakinan tentang yang menyampaikan dari Tuhan”, maka rumusan ini mereka nilai sudah mencakup banyak rincian, termasuk percaya pada Rasul dan Malaikat.
   Adapun keimanan tentang Qadha dan Qadar, dalam buku-buku akidah yang ditulis oleh ulama-ulama Syiah Itsna ‘Asyariah ditemukan uraian-uraian menyangkut Qadha dan Qadar yang mereka arikan bahwa manusia berada di lingkungan keduanya. Manusia memiliki kebebasan bertindak dan kemerdekaan berkehendak, tanpa mengurangi sedikit pun kuasa Allah swt.
   Telah dikemukakan di atas bahwa agama, menurut kalangan Syiah, adalah keyakinan dan amal perbuatan. Yang menyangkut keyakinan adalah: Tauhid, Kenabian, dan Hari Kemudian.
1. Tauhid
   Tauhid pada prinsipnya adalah keesaan Tuhan dalam sifat, perbuatan, dan dzat-Nya, serta kewajiban mengesakan dalam beribadah. Dalam sifat Tuhan Syiah lebih cenderung sependapat dengan Mu’tazilah, menurut mereka keterbilangan sifat Tuhan mengakibatkan keterbilangan dzat-Nya. Demikian pula mereka sependapat dengan Mu’tazilah tentang Amar Ma’ruf dan Nahy Munkar sebagai kewajiban agama atas dasar argumentasi syariat, bukannya kewajiban tersebut atas dasar argumentasi logika.
2. Kenabian
   Kelompok Syiah berkeyakinan bahwa seluruh nabi yang disebut dalam al-Qur’an adalah utusan-utusan Allah swt. dan bahwa Nabi Muhammad saw. adalah nabi terakhir, dan penghulu seluruh nabi. Beliau terpelihara dari kesalahan dan dosa. Allah telah memperjalankan beliau di waktu malam dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha, kemudian dinaikkan ke Sidratul Muntaha. Kitab al-Qur’an diturunkan oleh Allah kepada beliau sebagai mukjizat dan tantangan serta pengajaran hukum yang membedakan antara halal dan haram, yang tiada kekurangan juga penambahan atau perubahan di dalamnya dan barangsiapa yang mengaku mendapat wahyu atau diturunkan kitab kepadanya setelah kenabian Muhammad saw., maka dia itu kafir yang harus dibunuh. 3. Hari Kemudian
   Syaikh Husain Kasyif al-Ghita menguraikan keyakinan Syiah Itsna ‘Asyariah tentang hari kemudian, sebagai berikut: “Imamiyah berkeyakinan sebagaimana diyakini oleh seluruh kaum Muslim bahwa Allah swt. akan mengembalikan hidup/membangkitkan semua makhluk dan menghidupkan mereka setelah kematian pada hari kiamat untuk melakukan perhitungan dan balasan. Yang dibangkitkan itu adalah sosok yang bersangkutan masing-masing dengan jasad dan ruhnya… Syiah Imamiyah juga percaya dengan semua apa yang tercantum dalam al-Qur’an dan Sunnah yang nilainya pasti seperti surga, neraka, kenikmatan di barzah dan siksanya, timbangan amal, shirath (jembatan), al-A’raf, kitab amalan manusia, yang tidak membiarkan yang kecil atau yang besar kecuali dicatatnya, dan bahwa semua manusia akan mendapat ganjaran/balasan. Kalau amalnya baik maka baik dan kalau buruk maka buruk.”

Kesimpulan


   Dari uraian di atas kiranya terdapat beberapa hal pokok yang dapat ditarik sebagai simpulan, diantaranya: Pertama tentang asal-usul golongan Syiah adalah dapat ditandai semenjak pasca wafatnya Nabi Muhammad, yang kemudian dilanjukan dengan peristiwa pembaiatan Sayyidina Abubakar dan berangkat dari sana muncul sebagian “simpatisan” Sayyidina Ali yang merasa bawah Ali lah yang lebih berhak menduduki jabatan Khilafah dan penerus Nabi Muhammad. Kedua secara umum, yang dimaksud sebagai golongan atau kelompok Syiah ialah mereka yang percaya bahwa Ali bin Abi Thalib dan anak-cucunya atau Ahlul Bait (keluarrga terdekat Nabi. Saw.) adalah yang berhak memangku jabatan sebagai Khilafah atau Imamah (kepemimpinan umat), dan mereka dalam hal-hal terkait pokok-pokok keimanan (Ushuluddin) dan hukum-hukum tentang ibadat dan kemasyarakatan (furu’) menyandarkan sepenuhnya kepada madzhab para Imam Ahlul Bait. Ketiga terkait persoalan aqidah, golongan Syiah menyatakan bahwa pada dasarnya Iman dan Islam adalah bersinonim yang mencakup tiga rukun, yaitu: Tauhid, Kenabian, dan Hari kemudian; ditambah dengan rukun keempat yang terkait dengan ibadah, yaitu: shalat, puasa, zakat, haji, dan ijtihad.

Daftar Pustaka
Wiyani, Novan Ardy. Ilmu Kalam. Bumiayu: Teras, 2013.
Nata, Abuddin. Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Shihab, M. Quraish. Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkan? Tanggerang: Lentera Hati, 2007.
Al-Musawi, A. Syarafuddin. Al-Muraja’at. Diterjemahkan oleh: Al-Baqr, Muhammad. Dialog Sunnah-Syi’ah: Surat-Menyurat antara Rektor Al-Azhar di Kairo Mesir dan Seorang Ulama Besar Syia’ah. Bandung: IKAPI, 2001.
Tim Penulis Sidogiri. Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah (Jawaban atas buku Dr. Quraish Shihab Sunnah Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?. Sidogiri: Pustaka Sidogori, 2012.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

RESEARCH JOURNAL
REALISME ARISTOTELES
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Filsafat Umum
Dosen Pengampu : Dr.Widiastuti,M.Ag.


Oleh :

Abdul Mannan (1604016059)
Nur Ainah (1604016078)
Mudakir (1604016081)



FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017


PENDAHULUAN


   Pada Aristoteles kita menyaksikan bahwa pemikiran filsafat lebih maju, dasar-dasar sains diletakkan. Tuhan dicapai dengan akal, tetapi ia percaya pada Tuhan, jasanya dalam menolong Plato dan Sokrates dalam meeragi kaum Sofis. Bukti adanya tuhan menurutnya adalah tuhan sebagai penyebab gerak ( a fist cause of motion).
   Pandangannya lebih realis dari pada pandangan plato, yang didasari pada abstrak. Karena pendekatan yang dilakukan oleh Aristoteles adalah pendekatan Empiris. Itulah sebabnya ia begitu mementingkan penelitian dialam dan mendukung pengembangan ilmu-ilmu khusus. “Peristiwa-peristiwa dalam hidup keseharian sering kita tanggapi sebagai sesuatu yang serba biasa, yang tidak menimbulkan rasa heran atau kagum. Berulang kali telah kita lihat bagaimana bunga pohon jambu berguguran sebelum menghasilkan buahnya. Sampai pada suatu ketika sekuntum saja yang dengan perlahan-lahan melayang kebawah menimbulkan semacam rasa heran dalam hati kita. Apa artinya gejala ini, apa maknanya pohon jambu sebelum berbuah menaburkan bunga-bunganya ? Adakah semuanya ini terjadi dalam kerangka yang lebih luas (tidak hanya pada pohon jambu, namun juga pada manusia). Dan terpaparlah refleksi manusiawi, ia mulai termenung. Dengan bercermin pada peristiwa biasa (bunga jambu berguguran) ia menemukan intropeksi atau mawas diri dan dalam bunga-bunga gugur itu ia menemukan jejak perjalanan dirinya sendiri, ia seperti melihat perjalanan dirinya yang demikian yang tidak menentu. Termenung. Saat itulah, ia menjadi seorang filsuf”.

PEMBAHASAN

   Aristoeles dilahirkan di Stageira, Yunani Utara pada tahun 384 SM. Ayahnya seorang dokter pribadi di raja Macedonia Amyntas. Karena hidupnya di lingkungan istana, ia mewarisi keahlian dalam pengetahuan empiris dari ayahnya. Pada usia 17 tahun ia dikirim ke Athena untuk belajar di Academia Plato selama kira-kira 20 tahun hingga Plato meninggal. Beberapa lama ia menjadi pengajar di Akademia Plato Untuk mengajar logika dan retorika. Setelah plato meninggal dunia, Aris Toteles bersama rekannya Xenokrates meninggalkan Athena karena ia tidak setuju dengan pendapat pengganti Plato di akademia tentang filsafat. Ia dan rekannya pergi ke Assos, tiba di Assos, Aris Toteles dan rekannya mengajar di sekolah Assos. Di sini Aris Toteles menikah dengan Pythias. Pada tahun 345 SM kota Assos diserang oleh tentara Parsi, rajanya (Rekan Aristoteles) dibunuh, kemudian Aris Toteles dengan kawan-kawannya melarikan diri ke Mytelene di pulau Lesbos tidak jauh dari Assos.
   Aristoteles terkenal sebagai Bapak “Logika”. Itu tidak berarti bahwa sebelum dia, tidak ada logika. Tiap uraian ilmiah berdasarkan logika. Logika tidak lain dari berfikir secara teratur menurut urutan yang tepat atau berdasarkan hubungan sebab dan akibat. Semua ilmuan dari filosifi sebelum Aristoteles mempergunakan logika sebaik-baiknya. Pada dasarnya, berfikir adalah mempertalikan isi pikiran dalam hubungan yang tepat. Akan tetapi, Aristoteleslah yang pertama kali membentangkan cara berfikir yang teratur dari suatu sistem.
   Tahun 342 Aris Toteles diundang raja Philippos dari Macedonia untuk mendidik anaknya Alexander. Dengan bantuan raja, Aris Toteles mendirikan sekolah Lykeion, sebab tempatnya dekat halaman yang dipersembahkan kepada dewa Apollo Lykeion. Aristoteles dikejar-kejar oleh pihak yang memusuhi partai Makedonia. Ia nyaris dihukum mati, kemungkinan besar karena tuduhan penghujatan terhadap para dewa. Namun, “gar orang-orang Thena tidak berdosa untuk kedua kalinya terhadap filsafat”, Aristoteles melarikan diri dari kota itu dan tinggal di Khalkis hingga akhir hayatnya dalam usia 69 tahun.
A. Realitas (Realisme Aristoteles)
   Istilah Realitas (Realisme) berasal dari kata Latin Realis yang berarti ‘sungguh-sungguh, nyata benar’. Oleh karena itu Realisme berpandangan bahwa objek persepsi indrawi dan pengertian sungguh-sungguh ada, terlepas dari indra dan budi yang menangkapnya karena objek itu memang dapat diselidiki, dianalisis, dipelajari lewat ilmu, dan ditemukan hakikatnya lewat ilmu filsafat. Sebagai aliran filsafat, realisme berpendirian bahwa yang ada yag ditangkap pancaindra dan yang konsepnya ada dalam budi itu memang nyata ada.
   Realisme Aristoteles didasarkan pada prinsip bahwa ide-ide bisa ada tanpa masalah, tapi tidak peduli bisa eksis tanpa bentuk. Aristoteles menyatakan bahwa setiap bagian materi memiliki sifat universal dan khusus. Sebagai contoh, semua orang berbeda sifat-sifat mereka. Kita semua memiliki berbagai bentuk dan ukuran dan tidak ada dua yang sama. Realisme berpendapat bahwa dalam melaksanakan prinsip-prinsip dan mengejar cita-cita etis orang perlu bersikap realistis. Artinya, dalam melaksanakan prinsip dan cita-cita etis itu orang perlu memperhitungkan semua faktor yaitu : situasi, kondisi, keadaan, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan orang-orang yang terlibat. Dengan memperhitungkan semua faktor itu, akan ditemukan bahwa tidak semua faktor itu mendukung pelaksanaan prinsip dan cita-cita etis.
B. Kategori
   Upaya untuk memahami segala sesuatu yang "ada" berdasarkan konstruksi pemikiran logic Aristoteles, maka terdapat sepuluh keberadaan yang oleh Aristoteles disebut dengan ten categories. Dalam logika Aristoteles, penggolongan suatu pengertian (kategori) sangat diperlukan, sebab pemahaman dengan kategori akan membantu seseorang untuk dapat merumuskan pemikirannya secara logis. Bagi Aristoteles, kategori adalah seperangkat pernyataan yang mampu mengklasifikasikan semua pernyataan lainnya. Kategori pokoknya adalah substansi dan sembilan yang lainnya disebut sebagai aksidensi.
   Aristoteles membagi kategori menjadi sepuluh kategori, yaitu:
a) substansi, yaitu hakekat sesuatu yang berdiri sendiri, seperti manusia, hewan, pohon.
c) kualitas (sifat) adalah suatu pengertian yang menunjukkan sifat ada itu, seperti kualitas Ahmad itu berkulit putih, merah, hijau, cerdas dan Iain-lain.
d) relasi (hubungan) adalah suatu pengertian yang menunjukkan sesuatu ada dengan adanya yang lain.
e) tempat (place) adalah pengertian yang menunjukkan letak ada itu di tengah ada yang lain.
f) waktu (time) adalah pengertian yang menunjukkan kapan atau berapa jumlah waktu ada itu berada.
g) posisi, yaitu pengertian yang menunjukkan bagaimana ada itu berada di tempatnya.
h) keadaan, yaitu pengertian yang menunjukkan bagaimana keberadaan itu dibandingkan dengan keberadaan ada yang lain; contoh: Air itu begitu tenang.
i) aksi, yaitu pengertian yang menyatakan suatu tindakan atau aktivitas dari ada itu, seperti Socrates itu minum racun.
j) positivitas yaitu suatu pengertian yang menunjukkan suatu tindakan yang diajukan kepada ada itu sendiri, seperti Sokrates itu dihukum mati.
Dari kesepuluh kategori tersebut, substansi merupakan hakekat sesuatu yang dapat berdiri sendiri, sedangkan sembilan yang lainnya merupakan penyebut atau pemberi bentuk terdapat substansi dan oleh karenanya ia tidak dapat berdiri sendiri, atau disebut dengan aksidensi.
C. Etika Kebahagiaan (Eudaimonisme)
   Setiap orang, masyarakat, bangsa mendambakan kebahagiaan. Berbagai teori, doktrin, paham menawarkan resep untuk menjadi bahagia. Semua agama menjanjikan kebahagiaan, baik di dunia maupun di surga. Karena itu, kebahagiaan merupakan perkara penting dalam hidup manusia. Suatu paham yang mendewakan kebahagiaan dan menganggapnya sebagai nilai hidup yang tertinggi adalah Kebahagiaan (Eudaimonisme). Nama itu sesuai dengan arti akar katanya karena Eudamoinisme berasal dari kata Yunani Eudoimonia, yang artinya ‘kebahagiaan’. Sebagai teori sepintas kilas tak ada yang salah dengan Eudoimonisme. Kebahagiaan merupakan nilai penting dalam hidup manusia dan amat berpengaruh bagi perilaku mereka. Namun, bila pandangan itu dipraktekkan dalam hidup nyata tidak sedikit pertanyaan yang dapat diajukan tentang kebahagiaan juga perbedaan dalam cara mendapatkannya.
   Didalam aliran filsafat aristoteles, etika mendapat tempat khusus. Hukum-hukumnya bukan diarahkan kepada suatu cita-cita yang kekal, mutlak tanpa syarat di dalam dunia yang mengatasi penginderaan kita tetapi diarahkan kedunia ini. Tujuan tertinggi yang ingin dicapai adalah “kebahagiaan” (Eudaimonia). Kebahagiaan ini bukan berarti kebahagiaan yang subyektif, tetapi sesuatu keadaan yang sedemikian rupa, sehingga segala sesuatu yang termasuk keadaan bahagia itu terdapat pada manusia.

PENUTUP


Kesimpulan
   Aristoteles adalah teman dan murid plato. Ia dilahirkan di Stageira. Keluarganya adalah orang-orang yang tertarik pada ilmu kedokteran. Ia banyak mempelajari ilmu filsafat, matematika, astronomi, retorika dan ilmu-ilmu yang lainnya. Diantara penulis-penulis islam yang mengagumi Aristoteles adalah Ibnu Rusyd. Ulasannya terhadap Aristoteles merupakan suatu karya standar (pegangan) untuk eropa abad pertengahan. Tidak ada pemisahan yang dibuat antara karya hasil Aristoteles denga pengulas Plato. Pada garis besarnya, pikiran-pikiran Aristoteles diperbaiki menurut ajaran-ajaran islam. Pikiran-pikirannya yang bersifat analitis dan panteistis bukan saja ternyata tidak dapat diterima oleh teolog-teolog islam, melainkan juga di tolak dan dikritik. Karena itu Realisme berpandangan bahwa obyek persepsi indriawi dan pengertian sungguh-sungguh ada terlepas dari indra dan budi yang menangkapnya karena obyek itu memang dapat diselidiki, dianalisis, dipelajari lewat ilmu, dan ditentukan hakikat nya lewat filsafat.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MAKALAH
Ijma'
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : Mishbah Khaeruddin Zuhri


Oleh :

Siti Ayu Febriani (1604016050)
Intania Dea Feblianita (1604016062)
Nisfa Tiara Joana (1604016083)



FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017


PEMBAHASAN


1.Pengertian Ijma’
   Ijma’ menurut ulama ilmu ushul fiqh adalah kesepakatan semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah Saw, atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.
   Secara etimologi, ijma’ mempunyai dua pengertian, yaitu kesepakatan atau consensus dan ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Makna yang pertama antara lain terdapat dalam surat Yusuf;15:
Artinya: “Maka, tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur…” Sedang pengertian yang kedua antara lain terdapat dalam surat Yunus 71:
Artinya: “Maka bulatkanlah keputusanmu dan (kumpul-kanlah sekutu-sekutumu…”
2.Syarat- syarat ijma
   Dari definisi mengenai pengeertian ijma’, dapat diambil kesimpulan bahwa ijma’ dianggap sah menurut syara’ bila mencakup empat unsur yaitu:
1).Ada beberapa mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa. Karena kesepakatan tidak mungkin dicapai kecuali dari beberapa pendapat yang saling memiliki kesesuaian. Bila pada waktu itu tidak ada beberapa mujtahid, tidak ada sama sekali atau hanya seorang mujtahid saja, maka menurut syara’ ijma’ tersebut tidak sah. Oleh karena itu tidak ada pada masa Rasul (masih hidup) tidak ada ijma’, karena beliau sendiri sebagai mujtahid.
2).Kesepakatan atas hukum syara’ mengenai suatu peristiwa pada saat terjadi oleh seluruh mujtahid muslim tanpa melihat asal negara, kebangsaan atau kelompoknya. Bila ada kesepakatan atas ukum syara’ mengenai suatu peristiwa oleh hanya mujtahid Haramin, Iraq, Hijaz, keluarga Nabi, atau mujtahid Ahlus Sunnah tidak termasuk Syiah, maka kesepakatan masing-masing negara, kelompok dan golongan tersebut tidak sah menurut hukum syara’. Karena ijma’ tidak sah kecuali dengan kesepakatan umum dari semua (yang memiliki kapasitas sebagai) mujtahid dunia islam pada masa terjadinya peristiwa itu.
3).Kesepakatan mereka diawali dengan pendapat masing-masing mujtahid. Pendapat itu diungkapkan dalam bentuk perkataan seperti fatwa atas suatu peristiwa, atau perbuatan seperti bentuk putusan hukum. Atau diungkapkan secara peroangan mujtahid, kemudian setelah pendapat masing-masing dikumpulkan ditemukan adanya kesepakatan. Atau diungkapkan secara kolektif, yaitu semua mujtahid dunia islam berkumpul pada masa terjadinya suatu peristiwa kemudian peristiwa itu diajukan kepada mereka, dan setelah mereka bertukar pendapat dari berbagai sudut pandang, mereka semua sepakat atas satu hukum mengenai peristiwa tersebut.
4).Kesepakatan itu benar-benar dari seluruh mujtahid dunia islam. Bila yang bersepakat hanya mayoritas, maka kesepakatan itu tidak disebut ijma’ meskipun yang tidak sepakat adalah minoritas dan yang sepakat adalah mayoritas. Karena jika masih ada pertentangan, maka dimungkinkan benar dalam satu segi dan salah dalam segi yang lain. Kesepakatan mayoritas bukanlah hujjah yang menjadi dasar hukum syara’ yang memiliki kepastian dan wajib diikuti.
3.Kekuatan Ijmak sebagai hujjah    Bila keempat unsur ijmak tersebut terpenuhi – yakni setelah wafatnya Rasul dapat didata jumlah seluruh mujtahid dunia Islam dari berbagai negara, bangsa dan kelompok, kemudian peristiwa itu diajukan kepada mereka untuk mengetahui hukumnya, dan dan seluruh mujtahid tersebut mengemukakan pendapat hukumnya secara jelas dengan perkataan atau perbuatan, berkelompok atau perorangan, dan ternyata sepakat atas satu hukum mengenai peristiwa itu, maka hukum dari kesepakatan tersebut adalah undang-undang hukum syara’ yang wajib diikuti dan tidak boleh menyalahinya. Bagi mujtahid pada masa berikutnya tidak boleh menjadikan peristiwa tersebut sebagai objek ijtihad, karena hukum yang telah ditetapkan dengan ijmak tersebut adalah hukum yang pasti, yang tidak dibenarkan menyalahi atau merubahnya.
Bukti kekuatan ijmak sebagai hujjah antara lain : 1).Sebagaimana Allah swt dalam al Quran memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-nya, Dia juga memerintahkan untuk taat kepada Ulil Amri, seperti dalam firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah swt dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu. (Q.S an Nisaa’ : 59) Lafal al Amri artinya adalah hal atau perkara, ia bersifat umum, meliputi masalah agama dan dunia. Ulil Amri pada masalah dunia adalah raja, para pemimpin dan penguasa, sedangkan pada masalah agama adalah para mujtahid dan ahli fatwa. Sebagian ahli tafsir, terutama Ibnu Abbas, menafsiri kata Ulil Amri itu dengan ulama, sedangkan ahli tafsir yang lain menafsiri dengan pemimpin dan penguasa. Yang jelas, penafsiran itu mencakup keseluruhan, dan semuanya harus ditaati dalam ruang lingkup masing-masing. Bila Ulil Amri telah sepakat dalam penetapan hukum syara’ yakni para mujtahid, maka wajib diikuti dan dilaksanakan berdasarkan nash al Quran . Sebagaimana firman Allah swt:
Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). (QS. An Nisaa’ :83)
2).Pada dasarnya hukum yang telah disepakati oleh pendapat semua mujtahid umat Islam adalah hukum umat yang diperankan oleh mujtahidnya. Ada beberapa hadis dari Rasul dan atsar dari para sahabat yang menunjukkan terpeliharnya umat (dalam kebersamaan) dari kesalahan, antara lain:
Umatku tidak akan berkumpul (dan sepakat) untuk melakukan kesalahan.
Tidak mungkin Allah mengumpulkan umatku melakukan kesesatan.
3).Ijmak atas suatu hukum syara’ harus didasarkan pada sandaran syara’ pula. Karena mujtahid Islam memiliki batas-batas yang tidak boleh dilanggar. Bila hasil ijtihadnya tidak didukung nash, maka tidak boleh melewati batas pemahaman suatu nash dan makna dari petunjuk nash yang ada. Bila dalam suatu kejadian tidak terdapat nash, maka ijtihadnya tidak boleh melewati batas-batas pengambilan hukum, baik dengan cara kias terhadap hukum yang sudah memiliki nash atau penerapan kaidah syariat dan dasar-dasar hukumnya, atau dengan cara pengambilan dalil dari dalil-dalil yang telah ditetapkan oleh syara’, seperti istihsan dan istishab, atau dengan cara menjaga adat kebiasaan dan kemaslahatan umum. Bila ijtihad seorang mujtahid saja harus didasarkan pada sandaran syara’, maka kesepakatan para mujtahid atas satu hukum terhadap satu kejadian adalah bukti adanya sandaran syara’ yang menunjukkan kepastian atas hukum tersebut. Seandainya yang digunakan sandaran adalah dalil dugaan, niscaya menurut kebiasaan tidak mungkin memunculkan suatu kesepakatan. Karena hal yang bersifat dugaan pasti menimbulkan perbedaan pemahaman.
4.Kehujjahan Ijma’
   Jumhur ulama sepakat bahwa Ijma’ dapat dijadikan dalil hukum, yaitu dalil hukum ketiga setelah Alquran dan Sunnah. Apabila, syarat-syaratnya terpenuhi, kekuatan hukumnya bersifat qoth’i. Sebetulnya dari segi bentuknya, Ijma’ terbagi dua. Pertama, Ijma, terhadap kasus-kasus yang telah dijelaskan di dalam Alquran, maupun Sunnah. Misalnya, Ijma’ ulama tentang wajibnya shalat lima waktu, Ijma’ ulama ulama tentang haramnya babi dan Ijma’ ulama tentang disyari’atkannya peradilan. Ijma’ dalam bentuk ini berfungsi sebagai penguat atau penegasan dari apa yang telah dijelaskan dalam Alquran dan Sunnah. Kedua, Ijma’, terhadap kasus-kasus baru yang belum ada ketentuan hukumnya, baik di dalam Alquran, maupun Sunnah. Dalam kaitan dengan pembahasan ijma’ disini, yang dimaksud ijma’ adalah ijma’ dalam bentuknya yang kedua ini.
   Kedudukan Ijma’ sebagai dalil hukum Islam ditegaskan di dalam Alquran, Sunnah dan Kesepakatan Ulama.
a)Di antara ayat Alquran yang memperkuat kehujjahan Ijma’ adalah surat al-Nisa’ ayat 115:
Artinya: Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
b)Di antara Sunnah adalah:
Artinya: Umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan.
c).Kesepakatan Ulama’ itu pasti didasarkan pada dalil, bukan berdasar hawa nafsu. Sebagai salah satu bentuk ijtihad, ijma, terikat oleh aturan dan kaidah yang membimbing para mujtahid agar dapat sampai pada kebenaran. Kalau dalam realitanya, kesepakatan (ijma’) itu terjadi, pastilah ijma’ tersebut didasarkan pada dalil yang qoth’i. Sebab, tanpa ada dalil qoth’I yang dijadikan acuan bersama dalam menetapkan hukum, niscaya kesepakatan (ijma’) tersebut tidak akan terlaksana. Sebab, menurut adat kebiasaan, kesepakatan (ijma’) itu sulit tercapai jika dalil yang menjadi landasan hukumnya berupa dalil zhonni.
5.Macam-Macam Ijma’    Ijmak ditinjau dari cara penetapannya ada dua:
1.Ijma' Sharih, yaitu para mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terhadap suatu kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing yang diperkuat dengan fatwa atau keputusan, yakni masing-masing mujtahid mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yang mencerminkan pendapatnya.
2.Ijma' Sukuti, sebagian mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum, dan sebagian yang lain diam, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidak terhadap pendapat yang telah dikemukakan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MAKALAH
Sunnah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : Mishbah Khaeruddin Zuhri


Oleh :

Robby Ashari (1604016045)
Yusuf Rohmadi (1604016046)
Noor Khasanah (1604016066)



FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017


PENDAHULUAN

A.Latar belakang
   Ushul Fiqh adalah kaedah-kaedah yang merupakan sarana untuk mendapatkan hukumnya perbuatan yang diperoleh dengan jalan mengumulkan dalil secara terperinci. Tujuan diadakannya dan mempelajari ilmu itu adalah untuk mengetahui dasar-dasar pembinaan hukum Agama dan maksud-maksud yang hendak diwujudkan serta bagaimana orang bisa melakukan istinbat hukum yang belum dijelaskan dalam dengan tegas (dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah) secara benar guna menyatukan atau mendekatkanberbagai macam pandangan atau pendapat. Sunnah adalah salah satu dari sumber hukum ushul fiqh, yang dimana dipakai setelah Al-Qur’an. Dalam makalah ini akan sedikit dijelaskan tentang sunah dari pandangan ushul fiqh.
B.Rumusan masalah
1.Apakah pengertian dari Sunnah?
2.Bagaimana kehujjahan Sunnah?
3.Bagaimana petunjuk dilalah Sunnah?
4.Bagaimana hukum menggunakan hadis ahad?
5.Bagaimana kedudukan Sunnah terhadap Al-Qur’an?
C.Tujuan
1.Untuk mengetahui definisi Sunnah.
2.Untuk mengetahui kehujjahan Sunnah dan pandangan ulama madzhab.
3.Untuk mengetahui petunjuk dalalah Sunnah.
4.Untuk mengetahui hukum menggunakan hadis ahad.
5.Untuk mengetahui kedudukan Sunnah terhadap Al-Qur’an.

PEMBAHASAN


a.Definisi Sunnah
   Secara bahasa, sunnah bermakna jalan yang dijalani, baik terpuji maupun tidak. Sedangkan menurut istilah, sunnah adalah segala yang dinukilkan dari Rasulullah SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, perilaku, perjalanan hidup beliau baik sebelum dan sesudah menjadi rasul. Sementara itu, menurut ahli ushul hadits, sunnah merupakan segala yang dinukilkan dari Rasulullah SAW., baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir yang berkaitan dengan masalah hukum. Muhammad A’Jaj al-Khatib menilai bahwa sunnah merupakan padanan dari hadits. Ulama lain menganggap bahwa sunnah berbeda dari hadits. Menurut Muhammad A’Jaj al-Khatib, kata sunnah merupakan segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang atau dianjurkan oleh Rasulullah SAW., baik berbentuk asbda maupun perbuatan.
b.Segi Kekuatannya Sebagai Hujjah
   As-Sunnah adalah salah satu dasar islam, hujjah bagi semua orang islam. Hal ini dijelaskan oleh Al-Qur’an sendiri dan As-Sunnah.
   Firman Allah (Al-Qur’an) telah menyuruh agar taat kepada Rasul-Nya dan mengiringi peritah tersebut dengan taat kepadaNya serta menganggap kita atau kepadanya sebagai taat kepada Allah. Firman Allah :
وما اتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا(Q.S Al Hasyr 7)
Artinya : “ apa yang diberikan oleh rasul kepada kamu, hendaklah kamu terima, dan apa yang dilarangnya hendaklah kamu hentikan.” Q.S Al Hasyr 7
فَلَا وَرَبِّكَ لَايُؤْمِنٌوْنَ حَتّى يٌحَكِّمُوْ كَ فِيْمَا شَخَرَ بَيْنَهُمْ ثُم لَايَجِدُوْنَ فِى اَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْاتَسْلِيْمَا(Q.S An Nisa 65)
Artinya : “ tetapi, tidak! Demi Tuhanmu! Mereka belum sebenarnya beriman, sebelum mereka meminta keputusa kepada engkau alam perkara-perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak menaruh keberatan dalam hatinya terhadap putusan yang engkau adakan dan mereka patuh dengan sesungguhnya.” Q.S An Nisa 65
   Seluruh kaum muslim telah sepakat bahwa sunnah sebagai hujjah dan sumber syariat undang-undang serta pedoman hidup umat yang harus diikuti. Dalil-dalil yang menetapkan bahwa sunnah sebagai hujjah dan sumber hukum islam yang kedua setelah al-Qur’an adalah sebagai berikut.
قُلْ أَطِيْعُوا االلهَ وَالرَّسُولَ فَإٍ تَوَلَّوْافِإِنَّ اللهَ لَا تُحِبُّ الْكَفِرِيْنَ (Q.S. Ali Imran 32)
“katakanlah : “taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, sungguh Allah tidak menyukai orang kafir.”
   Di ayat lain, Allah mencela orang mu’min dan mu’minah yang mengadakan pilihan menurut pilihannya sendiri, padahal Allah dan Rasdul-Nya telah menetapkan ketentuannya. Firman-Nya: وَمَا كَا نَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَ قَضَ اللهُ وَرَسُولُهُ, أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْحِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللهَ وَرَسُولُهُ, وَقَدْ ضَلَّ ضَلَلًا مُبِيْنَا (Q.S Al-Ahzab 36)
“Dan tidak patut bagi seorang mu’min dan mu’minah apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dia telah sesat yang sebenar-benarnya”
c.Pandangan Ulama Mazhab
1.Mazhab Hanafi
   Pendiri mazhab ini adalah Abu Hanifah (80-150/699-767) yang tinggal di Kufah. Kufah adalah wilayah yang jauh dari pusat tradisi Nabi, jauhnya dari pusat tradisi Nabi tersebut, akhirnya juga menentukan langkahnya sunnah Nabi sebagai perbendaharaan pokok dalam ijtihad. Metode berfikirnya lebih rasional dan realistis daripada tekstual. Menurutnya, Al-Qur’an sebagai sumber tertinggi. Jika tidak menemukan, maka menengok ke Sunah Nabi SAW. Tentang sunnah ini ia memilih beristidlal dengan qiyas daripada hadis ahad. Banyaknya Abu Hanifah dalam menerapkan dalil akal dalam masalah-masalah furu’iyyah ini dapat dipahami karena sedikitnya perbendaharaan hadis-hadis tentang hukum.
2.Mazhab Maliki
   Pendiri mazahab ini adalah Malik Ibn Anas (93-179H). Ia dibesarkan di kota Nabi Madinah, sehingga sangat kaya perbendaharaan hadisnya. Oleh krena itu, Malik menganggap tradisi penduduk Madinah sebagai salah satu dalil yang otoritatif dalam berijtihad. Ciri khas fiqh-nya lebih banyak menggunakan sunah daripada akal. Adapun urutan dalilnya dalam beristidlal, pertama ia merujuk ke Al-Qur’an. Jika tidak menemukan, maka menggunakan sunah yang secara urut adalah hadis mutawatir, hadis mansyur dan hadis ahad. Ia termasuk banyak meriwayatkan hadis melalui sanadnya sendiri. Menurutnya bahwa hadis ahad itu tidak berasal dari Nabi, oleh karena itu, ia lebih mendahulukan tradisi penduduk Madinah (‘amal ahl al-Madinah) daripada hadis ahad, kecuali yang didukung oleh dalil qat’i. Ia juga menolak hadis yang bertentangan dengan al-Kitab kecuali yang didukung oleh ijma ulama Madinah. Kalau tidak mendapatkan hadis mutawatir,maka ia mengambil hadis mansyur. Jika tidak menemukan hadis mansyur, maka mengambil fatwa sahabat yang tidak bertentangan dengan hadis marfu’.
3.Mazhab Syafi’i
   Pendiri mazhab ini adalah Muhammad Ibn Idris asy-Syafi’i (150-204H). Menurutnya bahwa kedudukan Al-Qur’an dan sunah khususnya mutawatir dan selain hadis ahad, itu sederajat. Tetapi kesamaan martabat ini hanya dalam istidlal saja karena asy-Syafi’i mengakui beberapa keistimewaan Al-Qur’an dibanding dengan sunah, di antaranya adalah secara teologis ada kewajiban percaya kepada Kitab Allah, kehujjahan sunah itu ditetapkan oleh Al-Qur’an sendiri, semua ayat Al-Qur’an itu mutawatir, memebacanya termasuk ibadah dan susunannya tauqifi (asli dari Nabi) bukan ijtihad seperti sunah. Karena kejajarannya dalam istidlal ini, maka kedduanya tidak boleh saling menghapus. Kalaupun ada ayat Al-Qur’an yang me-naskh sunah, maka harus ada dalil sunah yang menjelaskan adanya naskh itu. Tetapi ia menerima adanya naskh antara sunah dengan sunah. Jika ada ta’arud antara Al-Qur’an dan sunah, maka ia masih mendahulukan Al-Qur’an karena, menurutnya, hadis mutawatir itu berfungsi sebagai penjelas dalil Al-Qur’an.
   Istidlalnya, secara berurutan adalah pertama ia berpegang pada ayat Al-Qur’an. Jika tidak menemukan dalam Al-Qur’an maka ia menggunakan hadis mutawatir. Jika tidak menemukannya, maka mencari hadis ahad. Menurutnya hadis ahad itu termasuk dalil zanni al-wurud, oleh karena itu dapat dijadikan dalil jika telah memenuhi beberapa syarat, yaitu : para perawinya itu (1) siqah; (2) berakal; (3) dabit; (4) mendengar sendiri; dan (5) tidak menyalahi ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadis.
4.Mazhab Hanbali
   Pendiri mazhab ini adalah Ahmad Ibn Hanbal (164-241/780-855). Menurutnya bahwa nas adalah sumber tertinggi. Jika sudah ada nas, maka ia tidak berpaling kepada dalil-dalil lainnya. Dalm ber-istidlal pertama ia merujuk ke Al-Qur’an. Jika tidak menemukan, maja ke sunan sahihah. Menurutnya bahwa hadis dibagimenjadi dua, yaitu hadis sahih dan da’if, tanpa menyebutkan hadis hasan. Jika tidk menemukan hadis sahih, maka berpaling ijma’ sahabat.
d.Dalalah As-Sunnah
   sunnah dilihat dari segi dalalahnya yaitu petunjuk yang dapat dipahami terhadap mereka atau pengertian yang dikehendaki dapat dibedakan kepada qat’iy al dalalat dan zany al-dalalat adalah hadits-hadits juga dilihat dari segi makna lafadnya tidak mungkin di takwilkan. Dengan kata lain sunnah yang dalalahnya qat’iy itu adalah hadits-hadits dimana pengertian yang ditunjukannya mengandung makna yang jelas dan pasti. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa dalam hadits disebutkan cara Rasulullah berwudlu,dengan membasuh anggota wudlu masing-masing tiga kali kecuali mengusap kepala.
   Adapun zany al-dalalt adalah hadits-hadits yang makna lafatnya tidak menunjukkan keapda pengertian yang terjadi karena masih mungkin diartikankepada pengertian lain. Misalnya hadits tentang bacaan surat al-Fatihah dalam shalat.“ Tidak sah sahlat bagi orang yang tidak membaca surat Al-Fatihah”
   Dengan demikian, dapat dipahami bahwa nash-nash yang dikategorikan zany al-dalalat ini memang member peluang untuk ditakwilkan atau diartikan kepada arti yang lain selain dari dasar yang dikandungnya.
   Atas dasar ini, jika dibandignkan antara Al-Qur’an dengan As-Sunnah dilihat dari segi qat’iy al-wurud atau sering juga disebut dengan qat’iy al-subut, sedangkan dalalahnya adal yang qat’iy dan ada pula yang zanni. Adapun As-Sunnah ada yang qat’iy al-wurud dan ada pula yangn zany al-wurud, ada yang qat’iy al-dalalah dan ada pula yang zany al-dalalah.
e.Hukum menggunakan Hadis Ahad
   Jumhur ulama sepakat bahwa beramal dengan hadis ahad yang telah memenuhi ketentuan maqbul hukumnya wajib. Abu Hanifah, Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad memakai hadis ahad bila syarat-syarat periwayatan sahih terpenuhi. Hanya saja Abu Hanifah menetapkan syarat tsiqah dan adil bagi perawinya serta amaliahnya tidak menyalahi hadis yng diriwayatkan. Oleh karena itu hadis yang menerangkan proses pencucian sesuatu karena jilatan anjing dengan tujuh kali basuhan yang salah ssatunya harus dicampur dengan debu yang suci tidak digunakan, sebab perawinya yakni Abu Hurairah, tidak mengamalkannya. Sedang Imam Malik menetapkan persyaratan bahwa perawi hadis ahad tidak menyalahi amalan ahli Madinah.
   Sedangkan golongan Qadariyah, rafidhah dan sebagian ahli Zhahir menetapkan bahwa beramal dengan dasar hadis ahad hukumnya tidak wajib. Al-Juba’i dari golongan Mu’tazilah menetapkan tidak wajib beramal kecuali berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh dua orang yang diterima yang diterima oleh dua orang.
   Sementara yang lain mengatakan tidak wajib beramal kecuali hadis yang diriwayatkan oleh empat orang dan diriwayatkan oleh empat orang pula.
   Untuk menjawab golongan yang tidak memakai hadis ahad sebagai dasar beramal, Ibnu Al-Qayim mengatakan : “Ada tiga segi keterkaitan sunnah dengan Al-Qur’an. Pertama, kesesuaian terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an; Kedua, menjelaskan maksud Al-Qur’an; Ketiga, menetapkan hukum yang tidak ada dalam Al-Qur’an. Alternatif ketiga ini merupakan ketentuan yang ditetapkan oleh Rasul yang wajib ditaati. Lebih dari itu ada yang menetapkan bahwa dasar beramal dengan hadis ahad adalah Al-Qur’an, Sunnah dan ijma. Berikut adalahcontoh hadits ahad yang diterima, disepakati dan dijadikan dalil oleh para ulama dari zaman ke zaman, yang di dalamnya disamping berbicara tentang aqidah, tetapi juga hukum, atau yang lainnya. Karena keduanya berkaitan. Contohnya, kita lihat satu per satu.
dari Shahih Bukhariyaitu sebuah hadits ahad dan gharib.
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُننْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya amal itu dengan niat, dan sesungguhnya bagi masing-masing orang apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yangakan ia dapatkan atau kepada perempuan yang akan dia nikahi maka (hasil) hijrahnya adalah apa yang dia niatkan”. [Muttafaqun ‘alaih].
f.Kedudukan Sunnah terhadap Al-Qur’an
As-Sunnah dalam hubungannya dengan ayat-ayat Alqur’an ada beberapa macam :
Pertama : memperkuat (menegaskan terhadap ayat). Diantara contoh-contohnya adalah hadis-hadis tentang wajib shalat, zakat, puasa dan hajji, dan hadis-hadis tentang larangan syirik, kesaksian palsu, membunuh orag tanpa hak dan durhaka kepada orang tua. Kedua : menjadi penjelas terhadap Al-Qur’an. Dan dalam menjelaskan maksud ayat Al-Qur’an, ia terbagi tiga macam :
• Menguraikan yang global
• Mengkhususkan ayat Al-Qur’an yang umum
• Membatasi ketentuan yang mutlak
D.Kesimpulan.
   Sunnah adalah segala yang dinukilkan dari Rasulullah SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, perilaku, perjalanan hidup beliau baik sebelum dan sesudah menjadi rasul.Seluruh kaum muslim telah sepakat bahwa sunnah sebagai hujjah dan sumber syariat undang-undang serta pedoman hidup umat yang harus diikuti. Pandangan berbagai mazhab berbeda-beda pada sunnah yang dijadikan sumber hukum. Mazhab Hanafi, lebih memilih beristidlal dengan qiyas daripada hadis ahad. Mazhab Maliki, menganggap tradisi penduduk madinah sebagai salah satu dalil yang otoritatif dalam berijtihad.
   Mazhab Syafi’i, menurutnya bahwa kedudukan Al-Qur’an dan sunah khususnya mutawatir dan selain hadis ahad, itu sederajat. Sedangkan Mazhab Hanbali,menurutnya bahwa hadis dibagimenjadi dua, yaitu hadis sahih dan da’if, tanpa menyebutkan hadis hasan.dari segi dalalahnya yaitu petunjuk yang dapat dipahamidapat dibedakan kepada qat’iy al dalalat dan zany al-dalalat. Mengenai hukum menggunakan hadis ahad Jumhur ulama sepakat bahwa beramal dengan hadis ahad yang telah memenuhi ketentuan maqbul hukumnya wajib. As-Sunnah dalam hubungannya dengan ayat-ayat Alqur’an adalah untuk memperkuat atau mempertegaskan ayat, menjadi penjelas ayat-ayat yang global, mengkhususkan ayat yang masih umum, membatasi ketentuan yang mutlak.
Daftar Pustaka
ThalibMohammad, 1977, ILMU USHUL FIQH, Surabaya: PT BINA ILMU
AnwarRusydie, 2015, PENGANTAR ULUMUL QUR’AN DAN ULUMUL HADITS, Yogyakarta; IRCiSoD
Hasbiyallah, 2014, Fiqh dan Ushul Fiqh METODE ISTINBATH DAN ISTIDLAL, Bandung; PT REMAJA ROSDAKARYA
MughitsAbdul, 2008, KRITIK NALAR FIQH PESANTREN, Jakarta; KENCANA
http://nldru.blogspot.co.id/2015/03/babii-pembahasan-a.html 28 Maret 2017 pukul 10.53
SupartaMunzier, 2003, ILMU HADIS, Jakarta; PT RajaGrafindo Persada
https://almanhaj.or.id/2854-contoh-contoh-hadits-ahad.html 28 Maret 2017 pukul 16.52

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS