RSS

MAKALAH
Qiyas
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : Mishbah Khaeruddin Zuhri


Oleh :

Wachidatuzzuhro (1604016046)
Riski Ayu Oktaviani (1604016047)
Erna Rosalina (1604016079)



FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017



PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG

      Ushul fiqh adalah kaedah-kaedah yang merupakan sarana untuk mendapatkan hukumnya suatu perbuatan yang diperoleh dengan jalan mengumpulkan dalil secara terperinci. Tujuan mempelajari ilmu tersebut adalah untuk mengetahui dasar-dasar pembinaan hokum agama dan maksud-maksud yang hendak diwujudkan serta bagaimana orang bisa melakukan istinbat hukum yang belum jelas diterangkan di dalam Al Quran dan Al Sunnah. Selain Al Quran dan Al Sunnah, dilakukan juga satu jalan untuk menetapkan hukum Islam yaitu dengan jalan istinbat hukum. Qiyas adalah salah satu yang dijadikan sebagai sumber hukum Islam selain Al Quran dan Al Sunnah.

  2. RUMUSAN MASALAH
    1. Apa pengertian dari qiyas?
    2. Apa sajakah rukun qiyas?
    3. Apa sajakah macam-macam illat?
    4. Apa saja macam-macam qiyas?
    5. Bagaimana kehujjahan qiyas sebagai sumber hukum islam?

  3. TUJUAN PENULISAN
    1. Untuk mengetahui pengertian dari qiyas.
    2. Untuk mengetahui rukun qiyas.
    3. Untuk mengetahui macam-macam illat.
    4. Untuk mengetahui macam-macam qiyas.
    5. Untuk mengetahui kehujjahan qiyas sebagai sumber hukum islam.

PEMBAHASAN

  1. Pengertian Qiyas

      Qiyas secara bahasa berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Qiyas secara istilah banyak dikemukakan oleh para ulama’, antara lain:

    1. Shadr al-Syariah, qiyas adalah memberlakukan hukum asal pada hukum cabang disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja.
    2. Mayoritas ulama’ Syafi’iyah, qiyas adalah membawa hukum yang belum diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya atau meniadakan hukum bagi keduanya, disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum, maupun sifatnya.
    3. Wahbah al-Zuhaili, qiyas adalah menyamakan kasus yang belum ada ketetapan hukumnya berdasarkan nash kepada kasus yang sudah ada ketetapan hukumnya berdasarkan nash, disebabkan kesatuan illat hukum diantara keduanya.
    4.   Sedangkan, qiyas menurut istilah ahli ushul fiqh adalah menyamakan suatu hukum dari peristiwa yang tidak memiliki nash hukum dengan peristiwa yang sudah memiliki nash hukum, sebab sama dalam illat hukumnya.

  2. Rukun Qiyas

      Dari definisi qiyas yang telah dibahas maka qiyas mempunyai beberapa rukun yaitu:

    1. Ashal atau pokok, yaitu suatu kasus yang sudah ada ketetapan hukumnya berdasarkan nash Al Quran atau Al Sunnah. Menurut sebagian besar ulama’ fiqh, sumber hukum yang digunakan sebagai dasar qiyas haruslah berupa nash, dalam hal ini adalah Al Quran, Al Sunnah, atau Ijma’.
    2. Far’un atau cabang, yaitu suatu hukum yang belum ada ketatapan hukumnya berdasarkan nash Al Quran dan Al Sunnah yang ingin disamakan hukumnya dengan ashal. Maka dari itu, far’un harus memenuhi dua syarat yaitu:
      • Kasus tersebut belum terdapat nash hukumnya di dalam Al Quran dan hadis. Sebab, qiyas tidak berlaku pada sesuatu yang telang jelas nashnya.
      • Illat hukum itu harus benar-benar terwujud dalam kasus baru, sama jelasnya dengan illat hukum ashal.
    3. Hukum ashal, yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh nash pada ashal dan ingin ditetapkan juga pada far’un. Penetapan hukum asal kepada kasus hukm baru karena adanya persamaan antara keduanya maka harus memenuhi persyaratan yaitu:
      • Hukum harus berupa hukum syara’ yang amaliah. Qiyas hukum tidak akan terjadi kecuali hukum-hukum yang bersifat amaliah, karena itulah yang menjadi sasaran fiqh islam.
      • Harus berupa hukum yang rasional. Maksudnya ialah suatu hukum yang dapat ditangkap sebab dan alasan penetapannya sesuai dengan akal rasional manusia.
    4. Illat hukum, yaitu sifat yang menjadi dasar penetapan hukum pada ashal dan oleh karena sifat tersebut juga terdapat pada far’un, maka far’un disamakan hukumnya dengan ashal. Adapun syarat yang mengesahkan illat sebagai dasar qiyas adalah:
      • Illat harus berupa sifat yang jelas dan tampak, sehingga illah menjadi sesuatu yang menentukan.
      • Illat harus kuat, tidak terpengaruhi individu, situasi, maupun keadaan lingkungan, dengan satu pengertian yang dapat mengakomodasi seluruh perubahan yang terjadi.
      • Harus ada korelasi (hubungan yang sesuai) antara hukum dengan siffat yang menjadi illat.
      • Sifat-sifat yang menjadi illat yang kemudian melahirkan qiyas harus berjangkauan luas, tidak terbatas hanya pada satu hukum tertentu.
      • Tidak bertentangan dengan sebuah dalil dalam nash. Apabila terjadi pertentangan maka illat tersebut tidak patut dijadikan sebagai dasar qiyas.

  3. Macam-macam Illat

      Dilihat dari cara mendapatkan illat, ulama’ ushul fiqh membagi illat menjadi dua yaitu:

    1. Illat manshuhah, adalat illat yang ditunjuk oleh nash. Maksudnya, nash yang menunjukkan bahwa suatu sifat merupakan illat hukum dari sesuatu yang diterangkan oleh nash. Nash tentang illat hukum ada dua macam, yaitu:
      • Sharahah, yaitu lafadz yang terkandung dalam nash yang menunjuk pada illat hukum yang sangat jelas. Karena kejelasannya maka tidak ada kemungkinan bahwa yang ditunjuk oleh nash tersebut ada illat yang lain.
      • Isyarah, adalah petunjuk yang dipahami dari sifat yang ditunjuk oleh nash itu tidak langsung dapat diketahui kecuali melalui pemahaman bahwa ada sifat yeng menyertainya. Sifat inilah menjadi illat hukum.
    2. Illat mustanbathah, adalah suatu illat hukum yang tidak ditunjuk langsung oleh nash, tidak ada pula dalam ijma’ yang menetapkannya, maka keberadaannya ditetapkan dalam bentuk sebagai berikut:
      • Al Munaasib al Mu’tsir (sesuai yang berpengaruh) adalah sifat sesuai yang digunakan syar’i untuk membuat hukum yang sesuai.
      • Al Munaasib al Mulaa-im adalah sifat sesuai yang oleh syar’I dijadikan dasar menghasilkan hukum yang sesuai dengan sifat itu.
      • Al Munaasib al Mursal adalah sifat yang tidak digunakan oleh syar’i untuk menghasilakan hukum yang sesuai dengan sifat itu, tidak ada dalil syara’ untuk menganggapnya salah satu bentuk anggapan sebagai mana tersebut diatas dan tidak menunjukan bahwa sifat itu sia-sia. Tetapi sifat itu sesuai, artinya dapat membuktikan kemaslahatan, hanya saja ia tak terbatas, yakni tidak memiliki petunjuk anggapan dan petunjuk sia-sia.
      • Al Munaasib al Mulghaa adalah sifst ysng menjelaskan bahwa dalam menetapkan hukum atas sifat itu mewujudkan kemaslahatan. Tetapi syari’ tidak menghasilkan hukum yang sesuai dengan sifat itu, dn syari menunjukan beberapa dalil atas tidak digunakannya anggapan tersebut.

  4. Macam-macam Qiyas

      Pembagian Qiyas dapat dilakukan dengan melihat beberapa aspek, antara lain :

    1. Dari segi kekuatan illat yang terdapat pada ashal dan Far’un, Qiyas dibagi menjadi tiga, yaitu :
      • Qiyas Aulawi, adalah Qiyas yang dimana illat yang terdapat pada far’un lebih kuat di banding illat yang terdapat pada ashal.
      • Qiyas Musawi, adalah Qiyas diamana illat hukum yang terdapat pada far’un sama kuatnya dengan illat yang terdapat pada ashal.
      • Qiyas Adna, adalah Qiyas dimana illat yang terdapat pada far’un lebih lemah dibandingkan illat hukum yang terdapat pada ashal.
    2. Dari segi kejelasan illatnya, qiyas dibagi menjadi dua, yaitu :
      • Qiyas Jali, adalah Qiyas yang illat hukumnya di tetapkan didalam nash bersamaan dengan penetapan hukum pada ashal atau illat tersebut tidak diterapkan dalam nash, namun titik perbedaan antara ashal dan far’un dapat dipastikan tidak ada pengaruhnya.
      • Qiyas Khafi, adalah Qiyas yang illat hukumnya tidak disebutkan dalam nash, tetapi di-istinbatkan dari hukum asal yang memungkinkan kedudukan illatnya bersifat zhonni.

  5. Kehujjahan qiyas sebagai sumber hukum islam.

      Dalam pandangan Jumhur Ulama, Qiyas adalah hujjah syara’ atas hukum-hukum sebangsa perbuatan dan sebagai hujjah syara’ yang keempat. Para fuqqaha berlebih kurang dalam menggunakan qiyas. Ada yang banyak menggunakannya dan ada yang sedikit. Ulama golongan Hanafiyah mendahulukan qiyas dibandingkan hadis ahad yang tidak mashur. Ahmad ibn Hanbal menggunakan qiyas di waktu darurat saja dan ketika tidak memperoleh dalil dari sunnah walaupun dhoif. Malik dan asy Syafi’i bersikap netral. Dan ada pula golongan yang tidak membenarkan penggunaan qiyas seperti Daud, ibnu Hazm, segolongan dari Syiah dan segolongan dari Mu’tazilah.

      Alasan ulama yang menetapkan qiyas sebagai hujjah syara’ dengan mengambil dari dalil al-Qur’an, as-Sunnah, pendapat dan perbuatan sahabat, juga illat-illat rasional.

    1. Ayat-ayat al-Qur’an yang digunakan sebagai dalil ada 3 ayat yaitu: (QS.an-Nisa:59), (QS.al-Hasyr:2), dan (QS.Yasin:79).
    2. Sunnah yang di ambil sebagai dalil ada 2 yaitu : Hadits Mu’adz bin Jabal dan banyak contoh qiyas yang dilakukan oleh Rasulullah pada juz pertama kitab I’laamul Muwaqqi’iin.
    3. Adapun alasan ketiga pengambilan qiyas sebagai hujjah syara’ adalah adanya ucapan dan perbuatan para sahabat. Mereka berijtihad mengenai masalah-masalah yang tidak memiliki Nash hukum dan mengqiyaskan hukum yang tidak memiliki nash dengan hukum yang memiliki nash dengan cara membandingkan antara yang satu dengan yang lain.
    4. Alasan yang keempat adalah adanya illat rasional dalam menetapkan qiyyas. Illat rasional tersebut ada 3 yaitu:
      • Allah tidak menetapkan hukum syara’ kecuali unyuk kemaslahatan dan kemaslahatan umat adalah tujuan akhir dari penetapan hukum syara’. Bila suatu kejadian yang tidak memiliki nash ada kesamaan dengan kejadian yang memiliki nash dalam hal illat hukumnya dan kuat untuk kemaslahatan maka harus ditetapkan sebagai hukum.
      • Nash al-Qur’an dan as-Sunnah sangat terbatas da nada hadisnya. Sedangkan kejadian dan permasalahan manusia tidak terbatas dan tidak ada habisnya.
      • Qiyas adalah dalil yang di dukung oleh naluri yang sehat dan teori yang benar.

      Alasan ulama yang menolak qiyas sebagai hujjah syara,yang keempat adalah:

    1. Alasan yang paling kuat adalah Qiyas itu di dasarkan pada dugaan, yakni illat hukum nash itu begini. Padahal sesuatu yang mengikuti dugaan hasilnya adalah dugaan. Seperti yang tertulis pada QS.Al-Israa’:36) ini adalah alasan lemah karena yang dilarang adalah mengikuti dugaan dalam hal aqidah, sedangkan dalam hal hukum yang sebangsa perbuatan, kebanyakan petunjuk hukumnya adalah dugaan. Jika alasan tersebut dibenarkan maka nash yang ditunjuk hukumnya dugaan tidak boleh di amalkan.
    2. Qiyas di dasarkan pada perbedaan pandangan dalam menemukan illat hukum, dan hal itu adalah sumber perbedaan dan pertentangan hukum. Sedangkan diantara hukum-hukum syara’ yang bijaksana ini tidak ada pertentangan.alasan ini lebih lemah dari pada illat sebelumnya karena perselisihan akibat qiyas bukanlah perselisihan dalam hal aqidah. Tetapi perselisihan pada masalah hukum sebangsa perbuatan yang tidak mendatangkan kerusakan bagi aqidah umat.
    3. Ungkapan yang diterima mereka adalah dari sebagian sahabat yang mencela pendapat pribadi dan penentapan hukum dengan pendapat pribdi. Seperti pendpat umar. Pendapat sahabat tersebut, disamping tidak dapat dipercaya juga yang dimaksut bukanlah menolak qiyas atau menjadikannya sebagai hujjah. Tetapi yang dimaksut adalah karangan mengikuti hawa napsu dan tidak memiliki rujukan nash samasekali.

    PENUTUP

    KESIMPULAN

      Dari uraian di atas dapat kita ketahui bahwa qiyas menurut istilah ahli ushul fiqh adalah menyamakan suatu hukum dari peristiwa yang tidak memiliki nash hukum dengan peristiwa yang sudah memiliki nash hukum, sebab sama dalam illat hukumnya. Qiyas sebagai hujjah syara’ yang keempat memiliki rukun, yaitu ashal, far’un, hukum ashal, dan illat hukum. Sebagaian jumhur ulama’ menerima qiyas sebagai hujjah syara’. Sebagian lainnya ada yang menolaknya. Tentu saja setiap golongan memiliki alasan dalam pendapat mereka.


    DAFTAR PUSTAKA

    Thalib, Muhammad, Ilmu Ushul Fiqh, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1977)

    Suwarjin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012)

    Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Pustaka Amini 2003)

    Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum, dkk,( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010)

    Ash Shiddieqy,Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment

jika ada kekurangan dan salah kata mohon maaf. semoga bermanfaat