RSS

MAKALAH
Ijma'
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : Mishbah Khaeruddin Zuhri


Oleh :

Siti Ayu Febriani (1604016050)
Intania Dea Feblianita (1604016062)
Nisfa Tiara Joana (1604016083)



FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017


PEMBAHASAN


1.Pengertian Ijma’
   Ijma’ menurut ulama ilmu ushul fiqh adalah kesepakatan semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah Saw, atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.
   Secara etimologi, ijma’ mempunyai dua pengertian, yaitu kesepakatan atau consensus dan ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Makna yang pertama antara lain terdapat dalam surat Yusuf;15:
Artinya: “Maka, tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur…” Sedang pengertian yang kedua antara lain terdapat dalam surat Yunus 71:
Artinya: “Maka bulatkanlah keputusanmu dan (kumpul-kanlah sekutu-sekutumu…”
2.Syarat- syarat ijma
   Dari definisi mengenai pengeertian ijma’, dapat diambil kesimpulan bahwa ijma’ dianggap sah menurut syara’ bila mencakup empat unsur yaitu:
1).Ada beberapa mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa. Karena kesepakatan tidak mungkin dicapai kecuali dari beberapa pendapat yang saling memiliki kesesuaian. Bila pada waktu itu tidak ada beberapa mujtahid, tidak ada sama sekali atau hanya seorang mujtahid saja, maka menurut syara’ ijma’ tersebut tidak sah. Oleh karena itu tidak ada pada masa Rasul (masih hidup) tidak ada ijma’, karena beliau sendiri sebagai mujtahid.
2).Kesepakatan atas hukum syara’ mengenai suatu peristiwa pada saat terjadi oleh seluruh mujtahid muslim tanpa melihat asal negara, kebangsaan atau kelompoknya. Bila ada kesepakatan atas ukum syara’ mengenai suatu peristiwa oleh hanya mujtahid Haramin, Iraq, Hijaz, keluarga Nabi, atau mujtahid Ahlus Sunnah tidak termasuk Syiah, maka kesepakatan masing-masing negara, kelompok dan golongan tersebut tidak sah menurut hukum syara’. Karena ijma’ tidak sah kecuali dengan kesepakatan umum dari semua (yang memiliki kapasitas sebagai) mujtahid dunia islam pada masa terjadinya peristiwa itu.
3).Kesepakatan mereka diawali dengan pendapat masing-masing mujtahid. Pendapat itu diungkapkan dalam bentuk perkataan seperti fatwa atas suatu peristiwa, atau perbuatan seperti bentuk putusan hukum. Atau diungkapkan secara peroangan mujtahid, kemudian setelah pendapat masing-masing dikumpulkan ditemukan adanya kesepakatan. Atau diungkapkan secara kolektif, yaitu semua mujtahid dunia islam berkumpul pada masa terjadinya suatu peristiwa kemudian peristiwa itu diajukan kepada mereka, dan setelah mereka bertukar pendapat dari berbagai sudut pandang, mereka semua sepakat atas satu hukum mengenai peristiwa tersebut.
4).Kesepakatan itu benar-benar dari seluruh mujtahid dunia islam. Bila yang bersepakat hanya mayoritas, maka kesepakatan itu tidak disebut ijma’ meskipun yang tidak sepakat adalah minoritas dan yang sepakat adalah mayoritas. Karena jika masih ada pertentangan, maka dimungkinkan benar dalam satu segi dan salah dalam segi yang lain. Kesepakatan mayoritas bukanlah hujjah yang menjadi dasar hukum syara’ yang memiliki kepastian dan wajib diikuti.
3.Kekuatan Ijmak sebagai hujjah    Bila keempat unsur ijmak tersebut terpenuhi – yakni setelah wafatnya Rasul dapat didata jumlah seluruh mujtahid dunia Islam dari berbagai negara, bangsa dan kelompok, kemudian peristiwa itu diajukan kepada mereka untuk mengetahui hukumnya, dan dan seluruh mujtahid tersebut mengemukakan pendapat hukumnya secara jelas dengan perkataan atau perbuatan, berkelompok atau perorangan, dan ternyata sepakat atas satu hukum mengenai peristiwa itu, maka hukum dari kesepakatan tersebut adalah undang-undang hukum syara’ yang wajib diikuti dan tidak boleh menyalahinya. Bagi mujtahid pada masa berikutnya tidak boleh menjadikan peristiwa tersebut sebagai objek ijtihad, karena hukum yang telah ditetapkan dengan ijmak tersebut adalah hukum yang pasti, yang tidak dibenarkan menyalahi atau merubahnya.
Bukti kekuatan ijmak sebagai hujjah antara lain : 1).Sebagaimana Allah swt dalam al Quran memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-nya, Dia juga memerintahkan untuk taat kepada Ulil Amri, seperti dalam firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah swt dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu. (Q.S an Nisaa’ : 59) Lafal al Amri artinya adalah hal atau perkara, ia bersifat umum, meliputi masalah agama dan dunia. Ulil Amri pada masalah dunia adalah raja, para pemimpin dan penguasa, sedangkan pada masalah agama adalah para mujtahid dan ahli fatwa. Sebagian ahli tafsir, terutama Ibnu Abbas, menafsiri kata Ulil Amri itu dengan ulama, sedangkan ahli tafsir yang lain menafsiri dengan pemimpin dan penguasa. Yang jelas, penafsiran itu mencakup keseluruhan, dan semuanya harus ditaati dalam ruang lingkup masing-masing. Bila Ulil Amri telah sepakat dalam penetapan hukum syara’ yakni para mujtahid, maka wajib diikuti dan dilaksanakan berdasarkan nash al Quran . Sebagaimana firman Allah swt:
Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). (QS. An Nisaa’ :83)
2).Pada dasarnya hukum yang telah disepakati oleh pendapat semua mujtahid umat Islam adalah hukum umat yang diperankan oleh mujtahidnya. Ada beberapa hadis dari Rasul dan atsar dari para sahabat yang menunjukkan terpeliharnya umat (dalam kebersamaan) dari kesalahan, antara lain:
Umatku tidak akan berkumpul (dan sepakat) untuk melakukan kesalahan.
Tidak mungkin Allah mengumpulkan umatku melakukan kesesatan.
3).Ijmak atas suatu hukum syara’ harus didasarkan pada sandaran syara’ pula. Karena mujtahid Islam memiliki batas-batas yang tidak boleh dilanggar. Bila hasil ijtihadnya tidak didukung nash, maka tidak boleh melewati batas pemahaman suatu nash dan makna dari petunjuk nash yang ada. Bila dalam suatu kejadian tidak terdapat nash, maka ijtihadnya tidak boleh melewati batas-batas pengambilan hukum, baik dengan cara kias terhadap hukum yang sudah memiliki nash atau penerapan kaidah syariat dan dasar-dasar hukumnya, atau dengan cara pengambilan dalil dari dalil-dalil yang telah ditetapkan oleh syara’, seperti istihsan dan istishab, atau dengan cara menjaga adat kebiasaan dan kemaslahatan umum. Bila ijtihad seorang mujtahid saja harus didasarkan pada sandaran syara’, maka kesepakatan para mujtahid atas satu hukum terhadap satu kejadian adalah bukti adanya sandaran syara’ yang menunjukkan kepastian atas hukum tersebut. Seandainya yang digunakan sandaran adalah dalil dugaan, niscaya menurut kebiasaan tidak mungkin memunculkan suatu kesepakatan. Karena hal yang bersifat dugaan pasti menimbulkan perbedaan pemahaman.
4.Kehujjahan Ijma’
   Jumhur ulama sepakat bahwa Ijma’ dapat dijadikan dalil hukum, yaitu dalil hukum ketiga setelah Alquran dan Sunnah. Apabila, syarat-syaratnya terpenuhi, kekuatan hukumnya bersifat qoth’i. Sebetulnya dari segi bentuknya, Ijma’ terbagi dua. Pertama, Ijma, terhadap kasus-kasus yang telah dijelaskan di dalam Alquran, maupun Sunnah. Misalnya, Ijma’ ulama tentang wajibnya shalat lima waktu, Ijma’ ulama ulama tentang haramnya babi dan Ijma’ ulama tentang disyari’atkannya peradilan. Ijma’ dalam bentuk ini berfungsi sebagai penguat atau penegasan dari apa yang telah dijelaskan dalam Alquran dan Sunnah. Kedua, Ijma’, terhadap kasus-kasus baru yang belum ada ketentuan hukumnya, baik di dalam Alquran, maupun Sunnah. Dalam kaitan dengan pembahasan ijma’ disini, yang dimaksud ijma’ adalah ijma’ dalam bentuknya yang kedua ini.
   Kedudukan Ijma’ sebagai dalil hukum Islam ditegaskan di dalam Alquran, Sunnah dan Kesepakatan Ulama.
a)Di antara ayat Alquran yang memperkuat kehujjahan Ijma’ adalah surat al-Nisa’ ayat 115:
Artinya: Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
b)Di antara Sunnah adalah:
Artinya: Umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan.
c).Kesepakatan Ulama’ itu pasti didasarkan pada dalil, bukan berdasar hawa nafsu. Sebagai salah satu bentuk ijtihad, ijma, terikat oleh aturan dan kaidah yang membimbing para mujtahid agar dapat sampai pada kebenaran. Kalau dalam realitanya, kesepakatan (ijma’) itu terjadi, pastilah ijma’ tersebut didasarkan pada dalil yang qoth’i. Sebab, tanpa ada dalil qoth’I yang dijadikan acuan bersama dalam menetapkan hukum, niscaya kesepakatan (ijma’) tersebut tidak akan terlaksana. Sebab, menurut adat kebiasaan, kesepakatan (ijma’) itu sulit tercapai jika dalil yang menjadi landasan hukumnya berupa dalil zhonni.
5.Macam-Macam Ijma’    Ijmak ditinjau dari cara penetapannya ada dua:
1.Ijma' Sharih, yaitu para mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terhadap suatu kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing yang diperkuat dengan fatwa atau keputusan, yakni masing-masing mujtahid mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yang mencerminkan pendapatnya.
2.Ijma' Sukuti, sebagian mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum, dan sebagian yang lain diam, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidak terhadap pendapat yang telah dikemukakan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment

jika ada kekurangan dan salah kata mohon maaf. semoga bermanfaat