RSS

MAKALAH
Sunnah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : Mishbah Khaeruddin Zuhri


Oleh :

Robby Ashari (1604016045)
Yusuf Rohmadi (1604016046)
Noor Khasanah (1604016066)



FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017


PENDAHULUAN

A.Latar belakang
   Ushul Fiqh adalah kaedah-kaedah yang merupakan sarana untuk mendapatkan hukumnya perbuatan yang diperoleh dengan jalan mengumulkan dalil secara terperinci. Tujuan diadakannya dan mempelajari ilmu itu adalah untuk mengetahui dasar-dasar pembinaan hukum Agama dan maksud-maksud yang hendak diwujudkan serta bagaimana orang bisa melakukan istinbat hukum yang belum dijelaskan dalam dengan tegas (dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah) secara benar guna menyatukan atau mendekatkanberbagai macam pandangan atau pendapat. Sunnah adalah salah satu dari sumber hukum ushul fiqh, yang dimana dipakai setelah Al-Qur’an. Dalam makalah ini akan sedikit dijelaskan tentang sunah dari pandangan ushul fiqh.
B.Rumusan masalah
1.Apakah pengertian dari Sunnah?
2.Bagaimana kehujjahan Sunnah?
3.Bagaimana petunjuk dilalah Sunnah?
4.Bagaimana hukum menggunakan hadis ahad?
5.Bagaimana kedudukan Sunnah terhadap Al-Qur’an?
C.Tujuan
1.Untuk mengetahui definisi Sunnah.
2.Untuk mengetahui kehujjahan Sunnah dan pandangan ulama madzhab.
3.Untuk mengetahui petunjuk dalalah Sunnah.
4.Untuk mengetahui hukum menggunakan hadis ahad.
5.Untuk mengetahui kedudukan Sunnah terhadap Al-Qur’an.

PEMBAHASAN


a.Definisi Sunnah
   Secara bahasa, sunnah bermakna jalan yang dijalani, baik terpuji maupun tidak. Sedangkan menurut istilah, sunnah adalah segala yang dinukilkan dari Rasulullah SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, perilaku, perjalanan hidup beliau baik sebelum dan sesudah menjadi rasul. Sementara itu, menurut ahli ushul hadits, sunnah merupakan segala yang dinukilkan dari Rasulullah SAW., baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir yang berkaitan dengan masalah hukum. Muhammad A’Jaj al-Khatib menilai bahwa sunnah merupakan padanan dari hadits. Ulama lain menganggap bahwa sunnah berbeda dari hadits. Menurut Muhammad A’Jaj al-Khatib, kata sunnah merupakan segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang atau dianjurkan oleh Rasulullah SAW., baik berbentuk asbda maupun perbuatan.
b.Segi Kekuatannya Sebagai Hujjah
   As-Sunnah adalah salah satu dasar islam, hujjah bagi semua orang islam. Hal ini dijelaskan oleh Al-Qur’an sendiri dan As-Sunnah.
   Firman Allah (Al-Qur’an) telah menyuruh agar taat kepada Rasul-Nya dan mengiringi peritah tersebut dengan taat kepadaNya serta menganggap kita atau kepadanya sebagai taat kepada Allah. Firman Allah :
وما اتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا(Q.S Al Hasyr 7)
Artinya : “ apa yang diberikan oleh rasul kepada kamu, hendaklah kamu terima, dan apa yang dilarangnya hendaklah kamu hentikan.” Q.S Al Hasyr 7
فَلَا وَرَبِّكَ لَايُؤْمِنٌوْنَ حَتّى يٌحَكِّمُوْ كَ فِيْمَا شَخَرَ بَيْنَهُمْ ثُم لَايَجِدُوْنَ فِى اَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْاتَسْلِيْمَا(Q.S An Nisa 65)
Artinya : “ tetapi, tidak! Demi Tuhanmu! Mereka belum sebenarnya beriman, sebelum mereka meminta keputusa kepada engkau alam perkara-perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak menaruh keberatan dalam hatinya terhadap putusan yang engkau adakan dan mereka patuh dengan sesungguhnya.” Q.S An Nisa 65
   Seluruh kaum muslim telah sepakat bahwa sunnah sebagai hujjah dan sumber syariat undang-undang serta pedoman hidup umat yang harus diikuti. Dalil-dalil yang menetapkan bahwa sunnah sebagai hujjah dan sumber hukum islam yang kedua setelah al-Qur’an adalah sebagai berikut.
قُلْ أَطِيْعُوا االلهَ وَالرَّسُولَ فَإٍ تَوَلَّوْافِإِنَّ اللهَ لَا تُحِبُّ الْكَفِرِيْنَ (Q.S. Ali Imran 32)
“katakanlah : “taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, sungguh Allah tidak menyukai orang kafir.”
   Di ayat lain, Allah mencela orang mu’min dan mu’minah yang mengadakan pilihan menurut pilihannya sendiri, padahal Allah dan Rasdul-Nya telah menetapkan ketentuannya. Firman-Nya: وَمَا كَا نَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَ قَضَ اللهُ وَرَسُولُهُ, أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْحِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللهَ وَرَسُولُهُ, وَقَدْ ضَلَّ ضَلَلًا مُبِيْنَا (Q.S Al-Ahzab 36)
“Dan tidak patut bagi seorang mu’min dan mu’minah apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dia telah sesat yang sebenar-benarnya”
c.Pandangan Ulama Mazhab
1.Mazhab Hanafi
   Pendiri mazhab ini adalah Abu Hanifah (80-150/699-767) yang tinggal di Kufah. Kufah adalah wilayah yang jauh dari pusat tradisi Nabi, jauhnya dari pusat tradisi Nabi tersebut, akhirnya juga menentukan langkahnya sunnah Nabi sebagai perbendaharaan pokok dalam ijtihad. Metode berfikirnya lebih rasional dan realistis daripada tekstual. Menurutnya, Al-Qur’an sebagai sumber tertinggi. Jika tidak menemukan, maka menengok ke Sunah Nabi SAW. Tentang sunnah ini ia memilih beristidlal dengan qiyas daripada hadis ahad. Banyaknya Abu Hanifah dalam menerapkan dalil akal dalam masalah-masalah furu’iyyah ini dapat dipahami karena sedikitnya perbendaharaan hadis-hadis tentang hukum.
2.Mazhab Maliki
   Pendiri mazahab ini adalah Malik Ibn Anas (93-179H). Ia dibesarkan di kota Nabi Madinah, sehingga sangat kaya perbendaharaan hadisnya. Oleh krena itu, Malik menganggap tradisi penduduk Madinah sebagai salah satu dalil yang otoritatif dalam berijtihad. Ciri khas fiqh-nya lebih banyak menggunakan sunah daripada akal. Adapun urutan dalilnya dalam beristidlal, pertama ia merujuk ke Al-Qur’an. Jika tidak menemukan, maka menggunakan sunah yang secara urut adalah hadis mutawatir, hadis mansyur dan hadis ahad. Ia termasuk banyak meriwayatkan hadis melalui sanadnya sendiri. Menurutnya bahwa hadis ahad itu tidak berasal dari Nabi, oleh karena itu, ia lebih mendahulukan tradisi penduduk Madinah (‘amal ahl al-Madinah) daripada hadis ahad, kecuali yang didukung oleh dalil qat’i. Ia juga menolak hadis yang bertentangan dengan al-Kitab kecuali yang didukung oleh ijma ulama Madinah. Kalau tidak mendapatkan hadis mutawatir,maka ia mengambil hadis mansyur. Jika tidak menemukan hadis mansyur, maka mengambil fatwa sahabat yang tidak bertentangan dengan hadis marfu’.
3.Mazhab Syafi’i
   Pendiri mazhab ini adalah Muhammad Ibn Idris asy-Syafi’i (150-204H). Menurutnya bahwa kedudukan Al-Qur’an dan sunah khususnya mutawatir dan selain hadis ahad, itu sederajat. Tetapi kesamaan martabat ini hanya dalam istidlal saja karena asy-Syafi’i mengakui beberapa keistimewaan Al-Qur’an dibanding dengan sunah, di antaranya adalah secara teologis ada kewajiban percaya kepada Kitab Allah, kehujjahan sunah itu ditetapkan oleh Al-Qur’an sendiri, semua ayat Al-Qur’an itu mutawatir, memebacanya termasuk ibadah dan susunannya tauqifi (asli dari Nabi) bukan ijtihad seperti sunah. Karena kejajarannya dalam istidlal ini, maka kedduanya tidak boleh saling menghapus. Kalaupun ada ayat Al-Qur’an yang me-naskh sunah, maka harus ada dalil sunah yang menjelaskan adanya naskh itu. Tetapi ia menerima adanya naskh antara sunah dengan sunah. Jika ada ta’arud antara Al-Qur’an dan sunah, maka ia masih mendahulukan Al-Qur’an karena, menurutnya, hadis mutawatir itu berfungsi sebagai penjelas dalil Al-Qur’an.
   Istidlalnya, secara berurutan adalah pertama ia berpegang pada ayat Al-Qur’an. Jika tidak menemukan dalam Al-Qur’an maka ia menggunakan hadis mutawatir. Jika tidak menemukannya, maka mencari hadis ahad. Menurutnya hadis ahad itu termasuk dalil zanni al-wurud, oleh karena itu dapat dijadikan dalil jika telah memenuhi beberapa syarat, yaitu : para perawinya itu (1) siqah; (2) berakal; (3) dabit; (4) mendengar sendiri; dan (5) tidak menyalahi ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadis.
4.Mazhab Hanbali
   Pendiri mazhab ini adalah Ahmad Ibn Hanbal (164-241/780-855). Menurutnya bahwa nas adalah sumber tertinggi. Jika sudah ada nas, maka ia tidak berpaling kepada dalil-dalil lainnya. Dalm ber-istidlal pertama ia merujuk ke Al-Qur’an. Jika tidak menemukan, maja ke sunan sahihah. Menurutnya bahwa hadis dibagimenjadi dua, yaitu hadis sahih dan da’if, tanpa menyebutkan hadis hasan. Jika tidk menemukan hadis sahih, maka berpaling ijma’ sahabat.
d.Dalalah As-Sunnah
   sunnah dilihat dari segi dalalahnya yaitu petunjuk yang dapat dipahami terhadap mereka atau pengertian yang dikehendaki dapat dibedakan kepada qat’iy al dalalat dan zany al-dalalat adalah hadits-hadits juga dilihat dari segi makna lafadnya tidak mungkin di takwilkan. Dengan kata lain sunnah yang dalalahnya qat’iy itu adalah hadits-hadits dimana pengertian yang ditunjukannya mengandung makna yang jelas dan pasti. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa dalam hadits disebutkan cara Rasulullah berwudlu,dengan membasuh anggota wudlu masing-masing tiga kali kecuali mengusap kepala.
   Adapun zany al-dalalt adalah hadits-hadits yang makna lafatnya tidak menunjukkan keapda pengertian yang terjadi karena masih mungkin diartikankepada pengertian lain. Misalnya hadits tentang bacaan surat al-Fatihah dalam shalat.“ Tidak sah sahlat bagi orang yang tidak membaca surat Al-Fatihah”
   Dengan demikian, dapat dipahami bahwa nash-nash yang dikategorikan zany al-dalalat ini memang member peluang untuk ditakwilkan atau diartikan kepada arti yang lain selain dari dasar yang dikandungnya.
   Atas dasar ini, jika dibandignkan antara Al-Qur’an dengan As-Sunnah dilihat dari segi qat’iy al-wurud atau sering juga disebut dengan qat’iy al-subut, sedangkan dalalahnya adal yang qat’iy dan ada pula yang zanni. Adapun As-Sunnah ada yang qat’iy al-wurud dan ada pula yangn zany al-wurud, ada yang qat’iy al-dalalah dan ada pula yang zany al-dalalah.
e.Hukum menggunakan Hadis Ahad
   Jumhur ulama sepakat bahwa beramal dengan hadis ahad yang telah memenuhi ketentuan maqbul hukumnya wajib. Abu Hanifah, Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad memakai hadis ahad bila syarat-syarat periwayatan sahih terpenuhi. Hanya saja Abu Hanifah menetapkan syarat tsiqah dan adil bagi perawinya serta amaliahnya tidak menyalahi hadis yng diriwayatkan. Oleh karena itu hadis yang menerangkan proses pencucian sesuatu karena jilatan anjing dengan tujuh kali basuhan yang salah ssatunya harus dicampur dengan debu yang suci tidak digunakan, sebab perawinya yakni Abu Hurairah, tidak mengamalkannya. Sedang Imam Malik menetapkan persyaratan bahwa perawi hadis ahad tidak menyalahi amalan ahli Madinah.
   Sedangkan golongan Qadariyah, rafidhah dan sebagian ahli Zhahir menetapkan bahwa beramal dengan dasar hadis ahad hukumnya tidak wajib. Al-Juba’i dari golongan Mu’tazilah menetapkan tidak wajib beramal kecuali berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh dua orang yang diterima yang diterima oleh dua orang.
   Sementara yang lain mengatakan tidak wajib beramal kecuali hadis yang diriwayatkan oleh empat orang dan diriwayatkan oleh empat orang pula.
   Untuk menjawab golongan yang tidak memakai hadis ahad sebagai dasar beramal, Ibnu Al-Qayim mengatakan : “Ada tiga segi keterkaitan sunnah dengan Al-Qur’an. Pertama, kesesuaian terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an; Kedua, menjelaskan maksud Al-Qur’an; Ketiga, menetapkan hukum yang tidak ada dalam Al-Qur’an. Alternatif ketiga ini merupakan ketentuan yang ditetapkan oleh Rasul yang wajib ditaati. Lebih dari itu ada yang menetapkan bahwa dasar beramal dengan hadis ahad adalah Al-Qur’an, Sunnah dan ijma. Berikut adalahcontoh hadits ahad yang diterima, disepakati dan dijadikan dalil oleh para ulama dari zaman ke zaman, yang di dalamnya disamping berbicara tentang aqidah, tetapi juga hukum, atau yang lainnya. Karena keduanya berkaitan. Contohnya, kita lihat satu per satu.
dari Shahih Bukhariyaitu sebuah hadits ahad dan gharib.
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُننْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya amal itu dengan niat, dan sesungguhnya bagi masing-masing orang apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yangakan ia dapatkan atau kepada perempuan yang akan dia nikahi maka (hasil) hijrahnya adalah apa yang dia niatkan”. [Muttafaqun ‘alaih].
f.Kedudukan Sunnah terhadap Al-Qur’an
As-Sunnah dalam hubungannya dengan ayat-ayat Alqur’an ada beberapa macam :
Pertama : memperkuat (menegaskan terhadap ayat). Diantara contoh-contohnya adalah hadis-hadis tentang wajib shalat, zakat, puasa dan hajji, dan hadis-hadis tentang larangan syirik, kesaksian palsu, membunuh orag tanpa hak dan durhaka kepada orang tua. Kedua : menjadi penjelas terhadap Al-Qur’an. Dan dalam menjelaskan maksud ayat Al-Qur’an, ia terbagi tiga macam :
• Menguraikan yang global
• Mengkhususkan ayat Al-Qur’an yang umum
• Membatasi ketentuan yang mutlak
D.Kesimpulan.
   Sunnah adalah segala yang dinukilkan dari Rasulullah SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, perilaku, perjalanan hidup beliau baik sebelum dan sesudah menjadi rasul.Seluruh kaum muslim telah sepakat bahwa sunnah sebagai hujjah dan sumber syariat undang-undang serta pedoman hidup umat yang harus diikuti. Pandangan berbagai mazhab berbeda-beda pada sunnah yang dijadikan sumber hukum. Mazhab Hanafi, lebih memilih beristidlal dengan qiyas daripada hadis ahad. Mazhab Maliki, menganggap tradisi penduduk madinah sebagai salah satu dalil yang otoritatif dalam berijtihad.
   Mazhab Syafi’i, menurutnya bahwa kedudukan Al-Qur’an dan sunah khususnya mutawatir dan selain hadis ahad, itu sederajat. Sedangkan Mazhab Hanbali,menurutnya bahwa hadis dibagimenjadi dua, yaitu hadis sahih dan da’if, tanpa menyebutkan hadis hasan.dari segi dalalahnya yaitu petunjuk yang dapat dipahamidapat dibedakan kepada qat’iy al dalalat dan zany al-dalalat. Mengenai hukum menggunakan hadis ahad Jumhur ulama sepakat bahwa beramal dengan hadis ahad yang telah memenuhi ketentuan maqbul hukumnya wajib. As-Sunnah dalam hubungannya dengan ayat-ayat Alqur’an adalah untuk memperkuat atau mempertegaskan ayat, menjadi penjelas ayat-ayat yang global, mengkhususkan ayat yang masih umum, membatasi ketentuan yang mutlak.
Daftar Pustaka
ThalibMohammad, 1977, ILMU USHUL FIQH, Surabaya: PT BINA ILMU
AnwarRusydie, 2015, PENGANTAR ULUMUL QUR’AN DAN ULUMUL HADITS, Yogyakarta; IRCiSoD
Hasbiyallah, 2014, Fiqh dan Ushul Fiqh METODE ISTINBATH DAN ISTIDLAL, Bandung; PT REMAJA ROSDAKARYA
MughitsAbdul, 2008, KRITIK NALAR FIQH PESANTREN, Jakarta; KENCANA
http://nldru.blogspot.co.id/2015/03/babii-pembahasan-a.html 28 Maret 2017 pukul 10.53
SupartaMunzier, 2003, ILMU HADIS, Jakarta; PT RajaGrafindo Persada
https://almanhaj.or.id/2854-contoh-contoh-hadits-ahad.html 28 Maret 2017 pukul 16.52

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment

jika ada kekurangan dan salah kata mohon maaf. semoga bermanfaat