RSS

MAKALAH
Pemikiran Kalam Golongan Syi’ah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sejarah Pemikiran Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Drs. Muhammad Nashuha, M.SI


Oleh :

Syaifullah Aji T. (1604016053)
Muhammad Azmil M. (1604016054)
Yusuf Rohhmadi (1604016055)



FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017


Pendahuluan


A.Latar Belakang
   Amat beragam uraian para pakar, baik Muslim maupun non-Muslim, tentang asal usul paham Syiah dan masa pembentukannya. Berangkat dari situ, pula muncul beragam penafsiran terkait persoalan-persoalan prinsip-prinsip dasar yang berkenaan dengan Akidah. Disatu sisi, boleh jadi penafsiran tersebut diterima oleh kelompoknya, dan disisi lain ditolak oleh kelompak yang lain.
   Apa pun sikap terhadapnya, semua umat Islam pada hakikatnya mengakui bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kedamaian. Karena itu, sangat wajar memahami pandangan sementara pakar yang membedakan antara ajaran murni dan penerapannya, yang bisa saja sewaktu-waktu dan dalam kondisi tertentu serta batas-batas tertentu menghasilkan kebijakan yang tidak sepenuhnya sejalan dengan ajaran murni.
   Para ulama sepakat bahwa siapa memunyai pandangan yang berbeda dengan kelompok umat Islam yang lain, tidaklah serta merta dinilai sesat atau menyesatkan. Menetapkan bahwa menilai seseorang sesat atau kafir haruslah berdasaar bukti-bukti yang jelas dari pandangannya yang bertentangan dengan akidah Islam.
   Maka dalam uraian makalah yang terbatas ini, kami mencoba menelusuri dan membahas beberapa hal terkait tema Pemikiran Kalam Golongan Syi’ah. Bertolak dari ciri yang menonjol, bahwa golongan Syiah adalah mengacu pada mereka yang memercayai dua belas orang Imam secara turun-temurun. Imam-imam itu bermula dari Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra. sampai dengan Imam yang digelari dengan Imam Mahdi. Lebih lanjut akan diuraikan, beberapa hal lain sekilas sejarah asal-usul, dan pandangan-pandangan Syiah yang berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar agama atau akidah.
B.Rumusan Masalah
1.Apakah pengertian Syiah ?
2.Bagaimana sejarah kemunculan dan apa saja golongan dari Syiah ?
3.Bagaimana pandangan Syiah tentang Rukun Iman dan Islam ?

Pembahasan


A.Pengertian
   Kelompok Syiah dapat menamai diri mereka sebagai Ahlussunnah, dalam pengertian bahwa mereka juga mengikuti tuntutan Sunnah Nabi, dan memang semua kaum Muslim harus mengakui dan mengikuti Sunnah Nabi Muhammad saw., karena tanpa mengikutinya, seorang tidak dapat menjalankan secara baik dan benar ajaran Islam.
   Kata Syiah secara etimologi (kebahasan) berarti pengikut, pendukung, pembela, pecinta, yang kesemuanya mengarah kepada makna dukungan kepada ide atau individu dan kelompok tertentu.
   Muhammad Jawad Maghiniyah, seorang ulama beraliran Syiah, memberikan definisi tentang kelompok Syiah, bahwa mereka adalah “kelompok yang meyakini bahwa Nabi Muhammad saw. telah menetapkan dengan nash (pernyataan yang pasti) tentang Khalifah (pengganti) Beliau dengan menunjuk Imam Ali.” Definisi ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Ali Muhammad al-Jurjani (1339-1413 M), seorang sunni penganut aliran Asy’ariyah, menurutnya: “Syiah adalah mereka yang mengikuti Sayyidina Ali ra. dan percaya bahwa beliau adalah Imam sesudah Rasul saw. dan percaya bahwa imamah tidak keluar dari beliau dan keturunannya.” Definisi ini kendati hanya mencerminkan sebagian dari golongan Syiah, namun untuk sementara dapat diterima karena kandungannya telah menunjuk kepada Syiah yang terbanyak dewasa ini, yakni Syiah Itsna ‘Asyariyah. B.Asal-usul dan Golongan-golongan Syiah
1.Asal-usul
   Sepintas ada yang berpendapat bahwa paham Syiah ini bersumber dari pemikiran Persia, bahkan juga ada pendapat yang menyatakan bahwa paham tersebut bersumber dari upaya orang-orang Yahudi untuk menyimpangkan ajaran Islam.
   Seperti diketahui bahwa Imamah, yang merupakan salah satu akidah pokok kaum Syiah, mereka yakini sebagai anugrah Ilahi (serupa kenabian) yang tidak dapat diperoleh melalui upaya manusia. Imamah itu silih berganti hingga mencapai dua belas orang secara turun temurun dimulai dari Sayyidina Ali sampai dengan imam kedua belas, yakni Muhammad al-Mahdi. Dari sini ada yang menyebut Syiah berumber dari Persia, dengan dalih bahwa keyakinan tentang adanya peranan Tuhan dalam kepemimpinan serta turun temurun-nya kekuasaan, tidak dikenal dalam masyarakat Arab, tetapi sangat diakui oleh masyarakat Persia.
   Sementara orang yang menyatakan bahwa Syiah adalah produk Yahudi yang bertujuan menyimpangkan ajaran Islam, menunjuk Abdullah bin Saba’ sebagai aktor intelektual dari paham ini.
   Dikisahkan Abdullah bin Saba’ muncul pada akhir periode pemerintahan Utsman bin ‘Affan ra. Ia adalah seorang Yahudi yang dilukiskan sebagai orang yang memiliki aktivitas menyamar sebagai seseorang yang hidup sangat sederhana, dan meraih kekaguman banyak sahabat Nabi saw. namun tujuannya adalah memecah belah umat. Dia berhasil menghasut masyarakat sehingga terjadi pemberontakan terhadap Khalifah ketiga yang kemudian terbunuh. Dia pulalah yang menciptakan ide-ide ketika berada di Kufah, yang intinya mengagung-agungkan Sayyidina Ali misalnya dengan menyatakan bahwa semestinya Ali-lah yang menjadi Nabi, bukan Muhammad. Lalu Ibnu Saba’ berhasil mengelabui orang-orang awam, yang memang secara umum sangat kagum kepada Sayyidina Ali.
   Namun banyak pakar baik Sunnah, lebih-lebih Syiah, yang menolak bukan saja peranan Abdullah bin Saba’ yang demikian besar, tetapi wujud pribadinya dalam kenyataan pun mereka sangsikan. Tidak sedikit pakar menilai bahwa pribadi Abdullah bin Saba’ sama sekali tidak pernah ada. Ia adalah tokoh fiktif yang diciptakan para anti-Syiah. Thaha Husain seorang ilmuwan kenamaan Mesir, menegaskan ketiadaan Ibnu Saba’ dan bahwa ia adalah hasil rekayasa musuh-musuh Syiah.
   Penganut aliran Syiah dan juga sekian pakar dari Ahlisunnah berpendapat bahwa benih Syiah muncul sejak masa Nabi Muhammad saw., atau paling tidak secara politis benihnya muncul saat wafatnya Nabi saw. (pembaiatan Sayyidina Abubakar di Tsaqifah). Ketika itu keluarga Nabi saw. dan sejumlah sahabat memandang bahwa Sayyidina Ali bin Thalib ra. lebih wajar dan lebih berhak menjadi khalifah ketimbang Sayyidina Abubakar ra. Sebab, hubungan yang demikian erat antara Nabi saw. dengan Sayyidina Ali ra. telah terjalin sebelum Islam, demikian Sayyidina Ali ra. adalah lelaki pertama yang memeluk Islam yang kemudian menjadi menantu Rasul, menikahkannya dengan anak perempuan yang paling beliau cintai, yakni Fatimah az-Zahra. Akhlak dan kepribadian beliau pun sedemikian menonjol.
   Syaikh Abdulhalim Mahmud, seorang mantan pemimpin al-Azhar yang sunni lagi sufi, lebih lanjut menulis bahwa: “Syiah pada mulanya merupakan rasa cinta dan kagum, lalu berkembang dan beralih menjadi cinta, kasih, serta kasihan ketika sementara orang berkeyakinan bahwa al-Bait al-Alawy (keluarga Ali) tidak menduduki tempatnya yang wajar dalam masyarakat. Selanjutnya ketika terjadi penganiayaan berupa penyiksaan, pengusiran, pemotongan anggota tubuh, pencungkilan mata, dan pembunuhan (terhadap keluarga Ali dan simpatisannya), maka lahirlah kelompok Syiah dalam pengertian istilah. Keluarga Ali pun dan simpatisannya menyuburkan ide tersebut dan menopangnya sekuat kemampuan mereka dengan harta dan dorongan moral. Akan tetapi, ide (apa pun) saat itu tidak dapat berkembang dengan mengandalkan harta dan dukungan saja, tetapi juga menuntut secara pasti sandaran agama. Di sini Syiah merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah untuk meraih sandaran tersebut, dan itu mereka peroleh dengan mudah atau dengan cara memaksakan (penafsiran atau membuat riwayat) dalam rangka mendukung ide atau kepercayaan mereka. Akibatnya, Syiah menjadi sekian banyak kelompok. Tidak sedikit di antara mereka yang melampaui batas dan bersikap ekstrem dalam cintanya kepada Ali ra. Dan cinta memang membutakan dan menulikan.” Demikian terlihat bahwa benih Syiah bukan bersumber dari ajaran Yahudi, tidak juga dari benih pandangan Persia, tetapi Syiah tumbuh dan berkembang secara normal.
2.Golongan Syiah
   Secara umum hanya dua kelompok Syiah yang dapat dimasukkan ke dalam golongan umat Islam, yaitu kelompok az-Zaidiyah dan al-Imamiyah. Demikian menurut al-Baghdadi.
   Terdapat kelompok Syiah yang keluar dari ajaran Islam namun kini telah punah dan tidak ada lagi pengikutnya. Secara umum mereka dinamai Ghulat (kelompok Ekstrem). Kelompok Syiah yang masih bertahan sampai saat ini adalah al-Imamiyah yang dinamai juga al-Itsna ‘Asyariyah. Mereka tersebar di Iran, Irak, juga sebagian penduduk Afganistan, Suriah, Pakistan, dan beberapa negeri lain; dan az-Zaidiyah yang sampai sekarang masih banyak bermukim di Yaman.
Berikut gambaran singkat menyangkut golongan-golongan Syiah tersebut:
1.Syiah Ghulat
Syiah kelompok ini adalah Syiah kelompok ekstrem yang hampir dapat dikatakan telah punah. Mereka diantaranya:
a. As-Sabaiyah
Mereka adalah pengikut-pengikut Abdullah bin Saba’ yang konon pernah berkata kepada Sayyidina Ali: “Engkau adalah Tuhan”. Dia juga menyatakan bahwa Sayyidina Ali ra. memiliki tetesan ketuhanan. Dia menjelma melalui awan. Guntur adalah suaranya, kilat adalah senyumnya. Dia kelak akan turun kembali ke bumi untuk menegakkan keadilan sempurna.
b. Al-Ghurabiyah
Kelompok ini percaya bahwa sebenarnya Allah mengutus malaikat Jibril as. Kepada Ali bin Abi Thalib ra., tetapi malaikat itu keliru atau bahkan berkhianat sehingga menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad. Karena itu, mereka mengutuk malaikat Jibril as. sambil berkata: “Yang dipercaya telah berkhianat.” Almarhum Ali Syariati, seorang pemikir Syiah kontemporer, berkomentar: “Jika Jibril memang salah dalam menyampaikan wahyu yang pertama kali, mengapa ia mengulangi kesalahannya selama dua puluh tiga tahun, dan mengapa Allah tidak memecatnya dari tugasnya sebagai penyampai wahyu ?”
2.Az-Zaidiyah
   Adalah kelompok Syiah pengikut Zaid bin Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib ra. Beliau lahir pada tahun 80 H dan terbunuh pada tahun 122 H. Beliau dikenal sebagai seorang yang sangat taat beribadah, berpengetahuan luas sekaligus revolusioner. Sementara pengikut Syiah memilih untuk tidak terlibat sama sekali dalam pergolakan politik, berdiam diri, melakukan taqiyah terhadap penguasa yang zalim demi memelihara diri sambil berdakwah dengan keteladanan yang baik. Sikap inilah yang dianut oleh Imam Ali Zainal Abidin, satu-satunya anak Sayyidinq al-Husain, yang selamat dari pembantaian di al-Harrah Karbala. Sikap Imam Ali Zainal Abidin ini serupa dengan sikap paman beliau, Sayyidina al-Hasan, putra Ali bin Abi Thalib, yang mengakui kekuasaan Muawiyah demi kedamaian dan memelihara kesatuan umat Islam. Sikap inilah yang dilanjutkan oleh Imam Ja’far ash-Shadiq, putra Muhammad al-Baqir, dan berlanjut hingga iman-iman Syiah Itsna ‘Asyariyah selanjutnya. Sedang sikap kedua, yakni tampil melakukan perlawanan dianut oleh Imam Zaid, putra Imam Ali Zainal Abidin sekaligus saudara Imam Ja’far ash-Shadiq, dan yang kemudian melahirkan Syiah Zaidiyah. Sikap Zaid yang berbeda dengan sikap ayah dan saudaranya ini diambil setelah melihat dalam kenyataan bahwa walaupun mereka sudah tidak aktif berpolitik, namun penganiayaan dan penghinaan terhadap mereka tetap saja berlanjut.
   Syiah Zaidiyah menetapkan bahwa imamah dapat diemban oleh siapa pun yang memiliki garis keturunan sampai dengan Fatimah, putri Rasul saw., baik dari keturunan putra, al-Hasan bin Ali, maupun al-Husain, dan selama yang bersangkutan memiliki kemampuan keilmuan tinggi, adil, dan berani mengangkat senjata melawan kezaliman.
   Walaupun Syiah Zaidiyah tetap memandang Sayyidina Ali ra. lebih mulia dari sahabat-sahabat Nabi saw. yang lain, namun mereka pun masih mengakui sahabat-sahabat Nabi itu sebagai khalifah-khalifah yang sah. Karena itulah dan karena keengganan mereka mempersalahkan para sahabat Nabi, apalagi mencaci dan mengutuk mereka, maka pengikut-pengikut Imam Zaid dinamai ar-Rafidhah, yakni penolak (untuk) menyalahkan dan mencaci. Mereka tidak seperti Syiah yang lain, Syiah Zaidiyah menolak menggunakan taqiyah, tidak juga menyatakan bahwa para imam mengetahui ghaib dan tidak juga menetapkan ishmah (keterpeliharaan dari doasa dan kesalahan) bagi para imam. Mereka tidak mengakui adanya ilmu khusus dari Allah kepada imam-imam, sebagaimana mereka tidak mengakui Raj’ah, yakni kembalinya hidup orang-orang tertentu ke pentas bumi ini dan dengan demikian mereka tidak mengakui adanya seseorang tertentu yang dinamai Imam Mahdi. Siapa pun yang adil, berpengetahuan, berani dan tampil mengangkat senjata melawan kezaliman maka ia adalah al-Mahdi.
3.Syiah Itsna ‘Asyariah
   Syiah Isna Asyariyah, bisa juga dikenal dengan nama Imamiyah atau Ja’fariyah, adalah kelompok Syiah yang memercayai adanya dua belas imam yang kesemuanya dari keturunan Sayyidina Ali ra. dan Fatimah az-Zahra. Kelompok ini merupakan mayoritas penduduk Iran, Irak, serta ditemukan juga di beberapa daerah di Suriah, Kuwait, Bahrain, India, juga Saudi Arabia, dan beberapa daerah bekas Uni Soviyet. Oleh karena kelompok ini merupakan mayoritas dari kelompok Syiah, maka ketika berbicara Syiah secara umum pendapat-pendapat merekalah yang seharusnya diketengahkan. Betolak dari sini, pandangan-pandangan terkait akidah Syiah, termasuk Rukun Iman dan Islam akan dibahas pada bagian selanjutnya.
C.Pandangan Rukun Iman dan Islam Golongan Syiah    Menurut Syaikh Muhammad Husain al-Kasyif al-Ghitha seorang ulama besar Syiah (1874-1933 H), berpendapat bahwa agama pada dasarnya adalah keyakinan dan amal perbuatan yang berkisar pada:
1) Pengetahuan/keyakinan tentang Tuhan
2) Pengetahuan/keyakinan tentang yang menyampaikan dari Tuhan.
3) Pengetahuan tentang peribadatan dan tata cara pengamalanya.
4) Melaksanakan kebijakan dan menampik keburukan (Budi Pekerti)
5) Kepercayaan tentang hari kiamat dengan segala rinciannya.
   Selanjutnya ia juga berpendapat bahwa: “Islam dan Iman adalah sinonim, yang keduannya secara umum bertumpu pada tiga rukun yaitu: Tauhid (Keesaan Tuhan), Kenabian, dan Hari kemudian. Jika seseorang mengingkari salah satu daru ketiganya, maka dia bukanlah seorang Mukmin, bukan juga seorang Muslim, tetapi apabila ia percaya tentang keesaan Allah, kenabian penghulu para nabi, yakni Nabi Muhammad saw., serta percaya tentang hari pembalasan (kiamat), maka ia adalah seorang Muslim yang benar. Dia memunyai hak-hak sebagaimana kewajiban Muslim-Muslim yang lain. Darah, harta, dan kehormatannya haram diganggu. Kedua kata itu juga (Iman dan Islam) memiliki pengertian khusus, yaitu ketiga rukun tersebut ditambah dengan rukun keempat yang terdiri dari tonggak-tonggak, yang atas dasarnya Islam dibina, yaitu shalat, puasa, zakat, haji, dan ijtihad.”
   Dalam hal keimanan, Syiah Itsna ‘Asyariah tidak menyebut butir-butir kepercayaan pada Malaikat, Kitab-kitab, dan para Rasul secara eksplisit. Mereka, ketika menyebut salah satu dari rukun Iman adalah: “Pengetahuan/keyakinan tentang yang menyampaikan dari Tuhan”, maka rumusan ini mereka nilai sudah mencakup banyak rincian, termasuk percaya pada Rasul dan Malaikat.
   Adapun keimanan tentang Qadha dan Qadar, dalam buku-buku akidah yang ditulis oleh ulama-ulama Syiah Itsna ‘Asyariah ditemukan uraian-uraian menyangkut Qadha dan Qadar yang mereka arikan bahwa manusia berada di lingkungan keduanya. Manusia memiliki kebebasan bertindak dan kemerdekaan berkehendak, tanpa mengurangi sedikit pun kuasa Allah swt.
   Telah dikemukakan di atas bahwa agama, menurut kalangan Syiah, adalah keyakinan dan amal perbuatan. Yang menyangkut keyakinan adalah: Tauhid, Kenabian, dan Hari Kemudian.
1. Tauhid
   Tauhid pada prinsipnya adalah keesaan Tuhan dalam sifat, perbuatan, dan dzat-Nya, serta kewajiban mengesakan dalam beribadah. Dalam sifat Tuhan Syiah lebih cenderung sependapat dengan Mu’tazilah, menurut mereka keterbilangan sifat Tuhan mengakibatkan keterbilangan dzat-Nya. Demikian pula mereka sependapat dengan Mu’tazilah tentang Amar Ma’ruf dan Nahy Munkar sebagai kewajiban agama atas dasar argumentasi syariat, bukannya kewajiban tersebut atas dasar argumentasi logika.
2. Kenabian
   Kelompok Syiah berkeyakinan bahwa seluruh nabi yang disebut dalam al-Qur’an adalah utusan-utusan Allah swt. dan bahwa Nabi Muhammad saw. adalah nabi terakhir, dan penghulu seluruh nabi. Beliau terpelihara dari kesalahan dan dosa. Allah telah memperjalankan beliau di waktu malam dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha, kemudian dinaikkan ke Sidratul Muntaha. Kitab al-Qur’an diturunkan oleh Allah kepada beliau sebagai mukjizat dan tantangan serta pengajaran hukum yang membedakan antara halal dan haram, yang tiada kekurangan juga penambahan atau perubahan di dalamnya dan barangsiapa yang mengaku mendapat wahyu atau diturunkan kitab kepadanya setelah kenabian Muhammad saw., maka dia itu kafir yang harus dibunuh. 3. Hari Kemudian
   Syaikh Husain Kasyif al-Ghita menguraikan keyakinan Syiah Itsna ‘Asyariah tentang hari kemudian, sebagai berikut: “Imamiyah berkeyakinan sebagaimana diyakini oleh seluruh kaum Muslim bahwa Allah swt. akan mengembalikan hidup/membangkitkan semua makhluk dan menghidupkan mereka setelah kematian pada hari kiamat untuk melakukan perhitungan dan balasan. Yang dibangkitkan itu adalah sosok yang bersangkutan masing-masing dengan jasad dan ruhnya… Syiah Imamiyah juga percaya dengan semua apa yang tercantum dalam al-Qur’an dan Sunnah yang nilainya pasti seperti surga, neraka, kenikmatan di barzah dan siksanya, timbangan amal, shirath (jembatan), al-A’raf, kitab amalan manusia, yang tidak membiarkan yang kecil atau yang besar kecuali dicatatnya, dan bahwa semua manusia akan mendapat ganjaran/balasan. Kalau amalnya baik maka baik dan kalau buruk maka buruk.”

Kesimpulan


   Dari uraian di atas kiranya terdapat beberapa hal pokok yang dapat ditarik sebagai simpulan, diantaranya: Pertama tentang asal-usul golongan Syiah adalah dapat ditandai semenjak pasca wafatnya Nabi Muhammad, yang kemudian dilanjukan dengan peristiwa pembaiatan Sayyidina Abubakar dan berangkat dari sana muncul sebagian “simpatisan” Sayyidina Ali yang merasa bawah Ali lah yang lebih berhak menduduki jabatan Khilafah dan penerus Nabi Muhammad. Kedua secara umum, yang dimaksud sebagai golongan atau kelompok Syiah ialah mereka yang percaya bahwa Ali bin Abi Thalib dan anak-cucunya atau Ahlul Bait (keluarrga terdekat Nabi. Saw.) adalah yang berhak memangku jabatan sebagai Khilafah atau Imamah (kepemimpinan umat), dan mereka dalam hal-hal terkait pokok-pokok keimanan (Ushuluddin) dan hukum-hukum tentang ibadat dan kemasyarakatan (furu’) menyandarkan sepenuhnya kepada madzhab para Imam Ahlul Bait. Ketiga terkait persoalan aqidah, golongan Syiah menyatakan bahwa pada dasarnya Iman dan Islam adalah bersinonim yang mencakup tiga rukun, yaitu: Tauhid, Kenabian, dan Hari kemudian; ditambah dengan rukun keempat yang terkait dengan ibadah, yaitu: shalat, puasa, zakat, haji, dan ijtihad.

Daftar Pustaka
Wiyani, Novan Ardy. Ilmu Kalam. Bumiayu: Teras, 2013.
Nata, Abuddin. Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Shihab, M. Quraish. Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkan? Tanggerang: Lentera Hati, 2007.
Al-Musawi, A. Syarafuddin. Al-Muraja’at. Diterjemahkan oleh: Al-Baqr, Muhammad. Dialog Sunnah-Syi’ah: Surat-Menyurat antara Rektor Al-Azhar di Kairo Mesir dan Seorang Ulama Besar Syia’ah. Bandung: IKAPI, 2001.
Tim Penulis Sidogiri. Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah (Jawaban atas buku Dr. Quraish Shihab Sunnah Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?. Sidogiri: Pustaka Sidogori, 2012.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment

jika ada kekurangan dan salah kata mohon maaf. semoga bermanfaat